rubianto.id

Tampilkan postingan dengan label vaksin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label vaksin. Tampilkan semua postingan

7 Juli 2024

Peneliti dari 9 Negara OKI Belajar Vaksin di Indonesia

Indonesia kembali menjadi tuan rumah Program Fellowship Penelitian dan Pelatihan bidang Virologi dan Teknologi Vaksin. Program ini ditujukan bagi para peneliti dari negara-negara anggota Organisasi Kerja Islam (OKI) yang ingin mempelajari teknologi pembuatan vaksin.

Penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah program fellowship ini merupakan kali ketiga, setelah kesuksesan penyelenggaraan gelombang pertama dan kedua pada 2022 dan 2023.

Program fellowship batch 3 akan berlangsung selama 1 bulan, mulai 1 Juli hingga 29 Juli 2024, di dua kota, yaitu Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Sebanyak 12 peserta dari 9 negara anggota OKI yang mengikuti program ini, yaitu Indonesia, Kamerun, Kazakhstan, Malaysia, Mesir, Pakistan, Somalia, Tanzania, dan Uganda.

Acara pembukaan (opening ceremony) Program Fellowship Penelitian dan Pelatihan Teknologi Virologi dan Vaksin Batch ke-3 diselenggarakan di Jakarta, Senin (1/7). Acara ini berlangsung bersamaan dengan Workshop Vaksin dan Virologi yang terbuka untuk diikuti secara daring oleh seluruh peneliti dan masyarakat umum di negara-negara anggota OKI. Opening ceremony turut dihadiri oleh para Duta Besar dan perwakilan kedutaan negara OKI di Jakarta.

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, program fellowship ini merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan OKI yang bertujuan meningkatkan kapasitas para peneliti negara anggota OKI dalam teknologi pembuatan vaksin.

Menkes Budi mendukung inisiatif Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan negara Islam dalam hal vaksin, karena selama ini penelitian, pengembangan dan manufaktur banyak dilakukan di bumi bagian utara, saatnya kita perluas ke bumi bagian selatan.

Menkes Budi menjelaskan, perluasan penelitian dan manufaktur vaksin dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin global. Hal ini penting mengingat pengalaman pandemi COVID-19 yang menunjukkan bahwa banyak negara berkembang kesulitan mendapatkan akses vaksin dibandingkan negara-negara maju.

Menkes Budi berharap kalau pandemi datang, semua orang di dunia ini, apapun latar belakangnya, apapun agamanya dan dimana pun tempat tinggalnya, mereka punya akses terhadap vaksin demi menyelamatkan nyawanya.

Program fellowship ini merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Standing Committee for Scientific and Technological Cooperation (COMSTECH), PT Bio Farma, dan Universitas Padjadjaran selaku Center of Excellence (CoE) on Vaccine and Biotechnology Products atau pusat riset vaksin OKI.

Rangkaian program fellowship batch 3 akan berlangsung selama 29 hari, diawali dengan acara pembukaan dan kegiatan Workshop Vaksin dan Virologi.

Selanjutnya, para peserta program fellowship akan mengunjungi 2 industri farmasi di Jakarta, yaitu PT Etana Biotechnologies Indonesia dan Kalbe Business Innovation Centre, serta melakukan kunjungan ke laboratorium BRIN.

Para peserta juga akan mengikuti pelatihan di laboratorium PT Bio Farma dan Laboratorium Sentral UNPAD Bandung dan Jatinangor. Pelatihan di masing-masing laboratorium akan berlangsung selama 10 hari.

Seluruh rangkaian agenda program fellowship ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk belajar dan berbagi pengetahuan mengenai riset dan produksi vaksin. Tujuan utama program ini untuk meningkatkan kapasitas para peneliti di bidang virologi dan teknologi vaksin, khususnya di negara-negara anggota OKI.

5 Agustus 2023

Informasi Vaksin Rotavirus

Vaksin rotavirus adalah vaksin untuk mencegah infeksi rotavirus yang bisa menyebabkan muntaber atau gastroenteritis. Vaksin Rotavirus berisi rotavirus hidup yang sudah dilemahkan.

Vaksin Rotavirus bekerja dengan cara memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi yang dapat melawan rotavirus ketika sewaktu-waktu virus ini menyerang.

Ada dua jenis vaksin Rotavirus di Indonesia, yaitu vaksin Rotavirus monovalen dan pentavalen. Vaksin Rotavirus pentavalen berisi lima jenis (strain) rotavirus, sedangkan vaksin Rotavirus monovalen hanya berisi satu jenis rotavirus.

Cara Pemberian Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus akan diberikan langsung oleh dokter atau petugas medis di bawah pengawasan dokter di tempat layanan vaksinasi. Sebelum pemberian vaksin, dokter atau petugas medis akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan anak dalam kondisi sehat dan siap untuk divaksin.

Jika anak demam saat pemeriksaan, vaksinasi dapat ditunda hingga kondisi membaik. Sementara bila anak hanya mengalami penyakit ringan, seperti pilek, vaksinasi tetap dapat dilakukan.

Vaksin Rotavirus diberikan dengan cara diteteskan secara perlahan ke dalam mulut anak. Hal ini untuk mencegah vaksin dimuntahkan kembali. Untuk mengurangi resiko vaksin dimuntahkan kembali, pemberian vaksin sebaiknya dilakukan sebelum bayi menyusu.

Rotavirus bisa ditemukan pada tinja anak yang baru saja menjalani vaksinasi Rotavirus. Guna mencegah penularan virus melalui tinja anak, selalu cuci tangan setelah memegang popok anak. Sebisa mungkin hindari anak berdekatan atau menyentuh orang yang sedang sakit, hingga 15 hari setelah menerima vaksin.

Dosis dan Jadwal Pemberian Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus merupakan salah satu vaksin yang termasuk dalam program imunisasi pilihan. Vaksin Rotavirus bisa diberikan kepada bayi sejak usia 6 minggu sampai maksimal usia 6–8 bulan, tergantung jenis vaksin yang diberikan.

Berikut adalah dosis dan jadwal pemberian vaksin Rotavirus yang dibagi berdasarkan jenis vaksinnya:

Vaksin Rotavirus monovalen

Vaksin Rotavirus monovalen diberikan sebanyak 2 kali. Dosis pertama diberikan saat anak berusia 6–14 minggu dan dosis kedua diberikan setidaknya 4 minggu berikutnya. Dosis kedua juga bisa diberikan saat anak berusia 16 minggu atau paling lambat ketika usianya 24 minggu.

Vaksin Rotavirus monovalen diberikan secara oral atau melalui mulut. Dosis yang diberikan dalam sekali pemberian adalah sebanyak 1,5 ml.

Vaksin Rotavirus pentavalen

Vaksin Rotavirus pentavalen diberikan sebanyak 3 kali. Dosis pertama pada saat anak berusia 6–14 minggu. Dosis kedua dan ketiga diberikan dengan jarak 4–8 minggu setelah vaksin sebelumnya. Batas akhir pemberian dosis ketiga adalah ketika usia anak mencapai 32 minggu.

Vaksin Rotavirus pentavalen juga diberikan melalui mulut. Dosis yang diberikan dalam sekali pemberian adalah sebanyak 2 ml.

Pastikan anak mendapatkan seluruh dosis vaksin yang sudah ditentukan. Jika anak melewatkan salah satu dosis, segera ke dokter atau fasilitas kesehatan terdekat untuk menerima dosis yang terlewat.

Peringatan Sebelum Menerima Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus merupakan jenis vaksin yang berasal dari virus hidup yang sudah dilemahkan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum anak Anda menjalani vaksinasi dengan vaksin Rotavirus, yaitu:

  • Beri tahu tenaga kesehatan tentang riwayat alergi yang anak miliki. Vaksin Rotavirus tidak boleh diberikan kepada anak yang alergi terhadap kandungan dalam vaksin ini.
  • Beri tahu tenaga kesehatan jika anak sedang menderita kelemahan sistem imun akibat kemoterapi, radioterapi, penggunaan obat imunosupresan, atau penyakit, seperti severe combined immudeficiency (SCID).
  • Beri tahu tenaga kesehatan jika anak Anda pernah mengalami kondisi intususepsi, spina bifida, atau penyakit bawaan pada kandung kemih, seperti bladder exstrophy.
  • Beri tahu tenaga kesehatan jika anak sedang mengonsumsi obat, suplemen, atau produk herbal apa pun.
  • Segera ke pelayanan kesehatan jika anak mengalami reaksi alergi atau efek samping serius setelah pemberian vaksin Rotavirus.

Interaksi Vaksin Rotavirus dengan Obat Lain

Jika vaksin Rotavirus diberikan bersama obat imunosupresan, termasuk obat kortikosteroid, efektivitas vaksin ini dapat berkurang. Untuk mengantisipasi efek interaksi antarobat, beri tahu dokter mengenai obat, suplemen, atau produk herbal apa pun yang sedang dikonsumsi sebelum menerima vaksin ini.

Efek Samping dan Bahaya Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus aman untuk anak dan jarang menimbulkan efek samping. Efek samping wajar yang dapat terjadi setelah pemberian vaksin berupa rewel, gelisah, muntah, dan diare.

Efek samping di atas umumnya bersifat ringan dan bisa sembuh tanpa diobati. Lakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan jika efek samping tersebut tidak kunjung mereda atau semakin memburuk. Anda juga harus segera ke pelayanan kesehatan jika terjadi reaksi alergi setelah penggunaan vaksin rotavirus.

Meski jarang terjadi, pemberian vaksin Rotavirus pada anak dapat berisiko menimbulkan efek samping yang lebih serius, seperti intususepsi. Segera ke pelayanan kesehatan jika bayi mengalami BAB berdarah, muntah-muntah, atau menangis terus-menerus setelah mendapat vaksin MR.

1 Oktober 2022

BPOM Ijinkan IndoVac dan AWcorna untuk Vaksinasi Covid-19 di Indonesia


Sebulan terakhir kita dihadapkan adanya kekosongan vaksin COVID-19 yang berasal dari luar negeri seperti Pfizer, Moderna, Astrazeneca dll. Namun kabar gembira disampaikan oleh Kepala Badan POM Penny K. Lukito pada tanggal 30 September di Jakarta, bahwa vaksin dalam negeri yaitu IndoVac dan AWcorna telah mendapatkan izin penggunaan darurat (EUA) untuk digunakan dalam program vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Keduanya dapat digunakan untuk vaksinasi dosis primer sebanyak dua kali suntikan.

Vaksin IndoVac

Vaksin IndoVac merupakan vaksin lokal produksi PT Biofarma. Pada pengembangan awal vaksin, Biofarma bekerjasama dengan Baylor College Medicine Amerika Serikat. Vaksin IndoVac dibuat dengan platform rekombinan protein subunit yang berisi zat aktif rekombinan  Receptor Binding Domain (RBD) protein.

BPOM telah mengevaluasi khasiat, keamanan, dan mutu dengan standar evaluasi yang berlaku. Vaksin IndoVac berefek samping ringan, dimana efek yang sering dilaporkan adalah nyeri lokal sebesar 113% dan tidak ada laporan kematian.

Vaksin IndoVac telah diberi izin untuk digunakan pada usia 18 tahun ke atas dan disetujui untuk vaksinasi primer sebanyak dua dosis suntikan dengan interval 28 hari.

Vaksin AWcorna

Vaksin AWcorna diproduksi oleh PT Etana Biotechnologies Indonesia. Vaksin ini menggunakan platform mRNA. Vaksin AWcorna membuktikan bahwa Indonesia bisa memproduksi sendiri vaksin COVID-19 dengan platform mRNA.

Vaksin AWcorna juga memiliki efek samping ringan. Gejala yang sering dilaporkan yaitu demam, nyeri ditempat suntikan, sakit kepala, bengkak dan tidak ada laporan kematian.

Vaksin AWcorna disetujui untuk vaksin primer dua dosis dengan interval suntikan 28 hari. Selain itu, vaksin AWcorna dapat digunakan sebagai vaksin penguat (booster) dengan platform vaksin yang dimatikan pada dosis primer (heterolog). Sebagai gambaran, vaksin dosis pertama dan kedua Sinovac atau Sinopharm dapat divaksinasi booster dengan vaksin AWcorna.

Demikian informasi terbaru untuk vaksinasi COVID-19, untuk penggunaan vaksin IndoVac dan AWcorna dalam program vaksinasi COVID-19 masih menunggu kebijakan dari KEMENKES.

Semoga bermanfaat,,,🙏🙏🙏

30 November 2016

2017, Vaksin Campak dan Rubella Masuk Program Imunisasi Nasional

Direktur Surveillance dan Karantina Kesehatan Dirjen P2P Kemenkes RI, dr. Elisabeth Jane Soepardi, MPH, DSc mengatakan bahwa mulai 2017, vaksin untuk mencegah penyakit campak dan rubella yakni Measles Rubella (MR) akan masuk program imunisasi nasional.

Masuknya vaksin MR dalam program imunisasi nasional ini dilatarbelakangi cakupan vaksin campak yang terus mengalami penurunan. Pada 2015 misalnya, cakupannya hanya 53.3 persen, dan terus menurun di bawah 48 persen pada September 2016 ini.

"Selama ini kita baru pakai vaksin campak, tetapi dengan vaksin MR, kita bisa cegah juga penyakit rubella," ujar dia pada temu media di Kementerian Kesehatan, Senin (28/11/2016).

Rencananya, tambah Elisabeth, pemberian vaksin MR dalam program imunisasi nasional akan dimulai pada Agustus-September 2017 di Pulau Jawa yang kemudian akan dilanjutkan pemberian fase kedua pada Agustus-September 2018.

Dengan adanya strategi tambahan imunisasi nasional ini, kata Jane, mulai 2018, jenis vaksin campak dan Rubella yang diberikan adalah MR pada anak berusia 9 bulan-15 tahun.

"Kenapa sampai anak usia 15 tahun, karena dengan asumsi anak yang usianya di atas 15 tahun sudah pernah mengalami rubella sehingga terbentuk antibodi secara otomatis di tubuhnya," terangnya.*suara

Vaksin Demam Berdarah Berpeluang Masuk Imunisasi Wajib

Vaksin dengue untuk pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berpeluang masuk program imunisasi wajib bila telah diproduksi massal, kata Direktur Pelayanan Farmasi Kementerian Kesehatan Detty Yulianti di Bandung.

"Saat ini vaksin yang masuk program imunisasi wajib ada sembilan, namun ke depan tidak menutup kemungkinan bertambah sesuai dengan kebutuhan dan dinamika di lapangan, salah satunya vaksin dengue yang saat ini masih dikembangkan PT Bio Farma," kata Detty Yulianti pada Wokshop Vaksin Negara OKI di Bandung.

Ia menyebutkan, Kementerian Kesehatan sebagai pengguna dari produk yang dihasilkan produsen vaksin dalam negeri baik untuk Program Imunisasi Wajib (usia 0 - 5 tahun) maupun Program Imunisasi non wajib seperti vaksin meningitis dan vaksin influenza.

Ketersediaan vaksin menjadi perhatian khusus Kementerian Kesehatan karena sifat dari vaksin untuk pencegahan. Oleh karenanya Kemenkes meminta Bio Farma untuk dapat memenuhi dulu kebutuhan dalam negeri setelah itu dapat diekspor.

"Alhamdulilah untuk kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi dari Bio Farma terutama untuk program imunisasi wajib, oleh karenanya kami menginginkan untuk dijadikan centre of excellence untuk produk vaksin yang inovatif," kata Detty.

Sembilan vaksin imunisasi wajib di Indonesia yang diberikan kepada balita antara lain vakin tetanus, difteri, pertusis, hepatitis B, campak, polio dan lainnya.

"Jadi vaksin dengue yang tengah dikembangkan itu jelas sangat ditunggu dan dibutuhkan oleh masyarakat" katanya.

Selain itu sejumlah produk vaksin yang dikembangkan di dalam negeri juga telah memberikan banyak manfaat, termasuk varian-varian produk vaksin yang dihasilkanya seperta pentavalen, vaksin seasonal flu dll.

Kementerian Kesehatan menyatakan menyambut baik penyelenggaraan Workshop on Vaccine Management yang diikuti oleh 10 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada tanggal 15-18 November 2016 di Bandung.

Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Togi Junice Hutadjulu sependapat dengan Detty yang menyatakan Indonesia harus menjadi yang terdepan dalam mendorong transformasi vaksin di negara OKI. Indonesia memiliki pengalaman dalam hal membuat vaksin sebagai alat untuk pencegahan penyakit.

Melalui kegiatan itu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman khususnya dari sisi BPOM sebagai National Regulatory Authority (NRA) sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk melalukan inspeksi industri vaksin.

"Saat ini baru ada dua negara di OKI yang sudah mendapat PQ yaitu yaitu Indonesia dan Senegal, dan kami tidak ingin hanya kami saja yang memiliki kemampuan tersebut oleh karenanya kami memiliki semangat untuk berbagi pengalaman," katanya.

Tukar pengalaman itu antara lain keahlian dalam hal inspeksi ke industri farmasi, uji klinik, bagaimana penyimpanan vaksin yang baik di sarana / instalasi farmasi. Togi menambahkan bahwa WHO sudah mengakui kompetensi SDM di BPOM, sehingga hal ini akan memberikan kepercayaan dunia atas Bio Farma, yang menghasilkan produk yang aman, bagi negara lain seingga dapat meningkatkan ekspor Indonesia.

Pada kesempatan itu hadir juga Dr Martin Eisenhower perwakilan WHO untuk regional Asia Tenggara (SEARO) yang memberikan materi presentasi mengenai persyaratan pembuatan vaksin yang sesuai dengan standar PQ-WHO, yang dimulai dari produk yang berkualitas aman dan ampuh.*inilahkoran

28 November 2016

Prinsip Kerja Vaksin

Dalam imunisasi, vaksin bekerja dengan meniru prinsip kerja sistem imun tubuh. Ketika tubuh mendapatkan suntikan vaksin tertentu, reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen yang terdapat pada virus atau bakteri dalam vaksin. Pada sel B, antigen akan berikatan dengan imunoglobulin di permukaan sel. Sementara itu, antigen T-dependent, akan memicu rangkaian proses perubahan (transformasi) Sel B dengan bantuan Sel Th untuk kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma dan Sel B memori.

Sel B juga membentuk sel memori yang kelak jika bertemu (terpapar) lagi dengan antigen serupa, akan lebih cepat memperbanyak diri (ber-proliferasi) dan segera menghasilkan antibodi untuk menangkal virus/bakteri. Inilah sebenarnya tujuan dari imunisasi sendiri. Meskipun sel plasma yang terbentuk tidak berumur lama, kadar antibodi spesifik di dalam tubuh cukup tinggi sehingga dapat bersifat protektif untuk jangka waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, harus dilakukan imunisasi ulang atau booster. Booster merupakan upaya untuk mendapatkan kadar antibodi yang protektif dan bertahan lama.

Respons Primer

  • Vaksin disuntikkan ke dalam tubuh seseorang.
  • Kuman tidak dapat membuat sakit karena telah dimatikan/dilemahkan. Namun, komponen antigen yang dibawanya dapat merangsang pembentukan antibodi yang akan melawan kuman.
  • Salah satu Limfosit B di dalam tubuh seseorang akan mengenali antigen di dalam vaksin.
  • Limfosit B memperbanyak diri dan membentuk “klon” sel-sel B yang mirip.
  • Sel-sel (limfosit) B “klon” berubah menjadi sel plasma atau sel B memori.
  • Sel plasma menghasilkan antibodi yang sudah “dilatih” untuk mengikatkan diri dengan bakteri atau virus yang pernah dimasukkan ke dalam tubuh melalui vaksin.
Respons Sekunder

  • Seseorang terinfeksi kuman secara alami (alamiah).
  • Kuman langsung dikenali oleh Sel B memori yang sudah terbentuk sebelumnya.
  • Sel B memori memperbanyak diri dengan cepat.
  • Sel B memori berubah menjadi sel plasma.
  • Sel plasma menghasilkan antibodi dalam jumlah besar yang dapat mengikatkan diri secara cepat dengan kuman dan memusnahkan kuman tersebut.

Sumber : dr. Arifianto, Sp.A . 2014. Pro Kontra Imunisasi: Agar tak salah memilih demi kesehatan buah hati. Jakarta: PT. Mizan Republika

20 Maret 2016

Menyoroti Kontroversi Seputar Imunisasi

Merebaknya kembali Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Sumatera Barat dan Aceh pada penghujung 2014 lalu hingga menimbulkan kematian dua orang anak yang tak mendapat imunisasi sama sekali dan membuat puluhan pasien dirawat dalam ruang isolasi Difteri, membuka mata kita bahwa ada masalah dengan persepsi masyarakat terhadap imunisasi saat ini. Hal tersebut tak lepas dari gencarnya isu yang dilontarkan kelompok antivaksin di Indonesia yang menebar pendapatnya melalui berbagai tulisan baik di buku-buku, tabloid, media sosial, maupun dari seminar dan ceramah keagamaan di masjid-masjid dan majelis taklim. Pendekatan yang dilakukan kelompok ini adalah pendekatan ideologis dengan basis agama Islam. Isu yang diusung biasanya menyangkut kehalalan dan keamanan vaksin dan isu konspirasi Yahudi di balik program vaksinasi.

Pada tahun 2012 Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sudah mengeluhkan adanya penurunan tajam cakupan imunisasi dari 93% ke 35% setelah masyarakat mengikuti ceramah tokoh antivaksin di berbagai masjid dan majelis taklim.  Hal tersebut disampaikan pada peringatan ulang tahun Ikatan Dokter Anak Indonesia pada saat itu. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk menyadarkan kembali masyarakat akan pentingnya imunisasi. Namun dua tahun kemudian KLB Difteri tetap terjadi di propinsi yang masyarakatnya agamis ini. Mengingat pendekatan kaum antivaksin yang amat ‘khas’ menyangkut ideologi vaksinasi maka mengatasinya pun tak cukup sekedar membantah argumen mereka dengan alasan ilmiah rasional semata, namun perlu juga dipahami alasan ideologis mengapa vaksinasi amat dibutuhkan oleh umat manusia.

Pentingnya mencegah penyakit dalam Islam

Kelompok antivaksin seringkali mengabaikan aspek pencegahan terhadap penyakit dan hanya mengutamakan aspek pengobatan penyakit (kuratif) saja. Mereka menganggap bahwa tuntunan Islam dalam masalah kesehatan hanyalah perintah untuk berobat setelah jatuh sakit. Pendapat tersebut tidak benar karena Islam amat menekankan aspek pencegahan terhadap berbagai hal yang menimbulkan potensi kerusakan di masyarakat, baik itu kerusakan fisik maupun non-fisik. Misalnya larangan mendekati zina (Al Qur’an surat Al Isra 17:32). Perhatikanlah bahwa yang dilarang adalah mendekati zina, redaksinya bukan saja larangan berzina. Ini adalah contoh bagaimana Islam berusaha mencegah sedini mungkin potensi kerusakan sosial dan kesehatan di masyarakat akibat zina dengan melarang manusia untuk mendekati zina.

Aspek pencegahan pun berlaku dalam masalah penyakit secara umum. Hadits Nabi SAW tentang: “Jagalah lima hal sebelum datang lima hal: hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, dan waktu lapang sebelum sempit”. Serta hadits lain yang menyebutkan bahwa “Mukmin yang kuat lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah”. Kedua hadits tersebut mengisyaratkan seorang muslim harus menjaga dan melakukan aspek promotif preventif dalam bidang kesehatan. Dalam kaidah ushul fiqih dikenal istilah sadudz-dzari’ah wajibun fil Islam. Artinya mencegah kemungkinan terjadinya kemudharatan di kemudian hari hukumnya wajib dalam Islam. Penyakit termasuk salah satu kemudharatan yang bisa menimpa individu maupun komunitas masyarakat. Bagaimana cara spesifik untuk mencegah penyakit tentu diserahkan kepada ahlinya, dalam hal ini para pakar kesehatan.

Larangan untuk menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan

Seorang muslim dilarang menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Dalam surat Al Baqarah 2:195: “Dan janganlah menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan” serta surat An Nisa 4:29: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu”. Dalam mengomentari ayat ini Syaikh DR Yusuf Al Qaradhawy seorang ulama kontemporer yang tinggal di Qatar mengatakan bahwa upaya pencegahan penyakit seperti vaksinasi yang sudah direkomendasikan oleh para ahli kesehatan amat penting diperhatikan oleh setiap muslim. Jika sudah ada cara spesifik untuk mencegah penyakit ganas dengan cara vaksinasi lalu seorang muslim menolaknya dan berakibat tertular penyakit, maka bisa dianggap sebagai menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan.

Vaksinasi sebagai salah satu ilmu kauniyah terbesar abad ini

Diawali dengan tradisi masyarakat muslim Turki pada awal abad-18 yang memiliki kebiasaan menggoreskan nanah dari sapi yang menderita penyakit cacar sapi (cowpox) kepada manusia untuk melindungi manusia dari penyakit cacar (smallpox, variola) kemudian tradisi ini dibawa ke Inggris dan diteliti serta dipublikasikan oleh Edward Jenner tahun 1798. Sejak saat itu konsep vaksinasi terus berkembang demikian pesat. Beragam jenis vaksin telah ditemukan selama dua abad. Dan masih akan banyak lagi jenis vaksin yang ditemukan.

Penelitian untuk membuat vaksin merupakan penelitian yang panjang, sangat memperhatikan aspek keamanan dan keakuratan data. Satu jenis vaksin bisa memerlukan belasan tahun untuk membuatnya. Diawali dengan uji laboratorium, kemudian uji pada hewan coba, relawan, orang dewasa, baru kemudian diterapkan pada bayi dan anak setelah terbukti produk vaksin tersebut aman dipakai. Bila terbukti sebuah vaksin menimbulkan efek simpang atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat dan fatal maka vaksin akan segera ditarik dari peredaran untuk diteliti ulang.

Berbagai prestasi vaksinasi pun telah dapat kita lihat dalam catatan sejarah kemanusiaan. Di antara prestasi terbesar vaksinasi adalah lenyapnya penyakit cacar pada tahun 1979. Inilah salah satu bukti manfaat ilmu kauniyah yang dipelajari manusia (apa pun agama dan rasnya). Hasil dari eksplorasi alam semesta di antaranya ilmu tentang vaksin (vaksinologi) telah menghasilkan manfaat yang luar biasa dalam bidang pencegahan penyakit pada manusia (dan juga hewan). Adalah amat keliru bila hasil penelitian selama dua abad itu kemudian ditolak dengan alasan amat sederhana: itu produk buatan manusia. Pendikotomian buatan Allah dan buatan manusia seperti pemahaman sebagian kelompok muslim yang antivaksinasi pada hakikatnya adalah pemahaman yang amat sekuler. Pemahaman yang jauh menyimpang dari intisari ajaran Islam yang sebenarnya. Bila kita memahami dengan baik posisi ilmu kauniyah maupun ilmu qauliyah adalah bersumber dari Allah SWT yang Maha Berilmu, maka tidak perlu lagi terjadi hal seperti di atas.

Pendapat para ulama mengenai vaksinasi

Kita perlu tahu bahwa vaksinasi bukan hanya dilaksanakan di Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih dari 190 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai saat ini tidak pernah terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya. Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al Qaradhawy ulama alumni Al Azhar dan kini tingal di Qatar pun membolehkan imunisasi. Bahkan beliau banyak menyerahkan masalah ini kepada para dokter yang menguasai ilmu vaksinologi secara mendalam dan kemudian beliau berikan fatwa terhadap apa yang diungkapkan para dokter. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia pun merekomendasikan pemberian imunisasi. Kalau para ulama di tingkat internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada orang yang bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam Islam.

Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi dilarang dalam Islam karena menggunakan kuman yang disuntikkan ke dalam tubuh sehingga berpotensi membahayakan tubuh, adalah pendapat yang tidak berlandaskan ilmu dan hanya berdasarkan zhan atau prasangka belaka. Mereka berpendapat begitu tanpa bekal ilmu pengetahuan yang memadai mengenai vaksin dan vaksinasi. Padahal Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Saat ini ada sebagian orang yang bukan ahlinya namun seringkali berkomentar mengenai sesuatu yang tidak difahaminya secara mendalam. Hanya berdasarkan bacaan dari internet, bersumber dari tokoh-tokoh fiktif yang tidak pernah ada atau berdasarkan teori konspirasi. Hal ini amat disayangkan karena bertentangan dengan anjuran dan tradisi Islam yang sangat menekankan aspek kejujuran dan obyektifitas ilmiah. Salah satu contoh tradisi ilmiah dalam Islam yang tidak ada bandingannya adalah pada proses penyeleksian ketat terhadap hadits-hadits nabi. Mungkin orang-orang yang hobi menyadur rumor, berita fiktif, hoax, gosip, khususnya tentang kampanye negatif terhadap vaksinasi perlu meniru tradisi Islam dalam menyeleksi hadits shahih.

Masalah enzim babi dalam proses pembuatan vaksin

Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan vaksin adalah digunakannya enzim tripsin dari babi selama pembuatan beberapa jenis vaksin tertentu. Perlu diketahui bahwa vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator hanya sebagian kecil saja dari semua jenis vaksin yang ada. Seringkali masalahnya ada pada perbedaan persepsi. Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi haram.

Sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi. Enzim tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida pada dinding selnya sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi dan ultrafiltrasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang mengandung enzim babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan enzim babi baik secara langsung maupun tidak.

Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa terhadap vaksin meningitis dan polio oral serta injeksi yang pada proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzim tripsin babi bahwa vaksin-vaksin tersebut boleh digunakan jika belum ada alternatif lain sebagai penggantinya. Sedangkan Majelis Ulama di Eropa, Negara-negara Timur Tengah, dan Amerika bahkan mengeluarkan sertifikat halal untuk beberapa vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator namun pada produk akhir tak dijumpai lagi adanya tripsin babi ini. Kaidah yang mereka gunakan adalah kaidah istihalah dan istihlak. Istihalah adalah hukum transformasi zat yaitu terjadinya perubahan zat dari bentuk awal ke bentuk akhir yang sama sekali berbeda. Istihlak adalah hukum pengenceran luar biasa yang membuat unsur najis bisa terkalahkan oleh unsur yang halal karena banyaknya jumlah zat halal dibanding zat najisnya.

Vaksin tanpa sertifikat halal

Isu lain yang sering dilontarkan masyarakat penolak vaksinasi adalah isu vaksin tak bersertifikat halal. Ini juga sering membuat resah masyarakat hingga akhirnya beramai-ramai menolak vaksinasi. Perlu diketahui bahwa kaidah yang sebenarnya dalam Islam adalah sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fiqih: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (halal) sampai ada dalil yang mengharamkannya.” Jadi syarat suatu zat disebut halal adalah jika tak ada unsur haram di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab di alam semesta ini benda yang halal jumlahnya jauh lebih banyak daripada benda yang haram. Jika kaidah ini dibalik menjadi: “Semua benda dianggap haram sampai punya sertifikat halal” maka ini akan sangat menyulitkan dan berlawanan dengan maksud syariat Islam yang sebenarnya.

Sertifikat halal memang baik namun tak ada sertifikat halal bukan otomatis berarti haram. Kita bisa meneliti apakah pada produk akhir vaksin ada zat yang haram. Jika tak ada maka vaksin tersebut hukumnya adalah halal. Karena sejatinya hak menentukan halal dan haram adalah hak prerogatif Allah SWT dan bukan tergantung pada selembar sertifikat semata. Sebagai muslim kita wajib memperhatikan kehalalan makanan dan obat-obatan termasuk vaksin dengan cara memastikannya bebas dari unsur haram. Oleh karenanya sebenarnya labelisasi haram bagi setiap makanan dan obat yang haram adalah suatu langkah yang lebih dekat dengan kaidah ushul fiqih seperti di atas.

Di sisi lain hukum obat dan vaksin berbeda dengan hukum makanan dan minuman. Pada makanan dan minuman tersedia banyak sekali alternatif yang bisa dipilih sehingga kita bisa memastikan pilihan kita hanya pada makanan dan minuman yang halal saja. Namun pada obat-obatan esensial dan vaksinasi yang amat penting bagi kesehatan masyarakat dapat berlaku hukum darurat. Khususnya jika obat dan vaksin tersebut termasuk zat haram namun tak ada alternatif lain sebagai penggantinya saat itu. Hal ini disebabkan suatu kaidah bahwa darurat itu membolehkan yang dilarang. Dengan demikian andai saja sebagian muslim masih menganggap bahwa vaksin itu haram maka berdasarkan hukum darurat ini vaksin tersebut tetap harus diberikan untuk mencegah berjangkitnya wabah penyakit ganas dan berbahaya di masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa cakupan imunisasi yang menurun menjadi sekitar 60% saja sudah bisa menimbulkan kembali wabah penyakit yang sebelumnya sudah menghilang di tengah masyarakat.

Penutup

Demikian uraian ringkas mengenai sebagian kontroversi seputar imunisasi yang beredar di masyarakat kita, khususnya kalangan muslim. Kita perlu memahami konteks ini agar dapat berdiskusi dengan masyarakat akan pentingnya imunisasi bagi masyarakat. Diharapkan dengan kampanye positif tentang imunisasi termasuk yang terkait dengan masalah ideologis keagamaan maka mereka yang masih ragu bisa diyakinkan bahwa vaksinasi itu halal dan aman dan tidak ada seorang pun ulama di negara-negara muslim melarang program vaksinasi ini. Semoga kegalauan masyarakat karena isu tidak bertanggungjawab dari para pegiat antivaksinasi bisa terlokalisir bila semua pihak termasuk media massa juga mampu memberi informasi yang benar.

Daftar Bacaan

  1. Al Qur’an dan terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia, 1971.
  2. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
  3. Al Qaradhawy Y. Halal dan haram dalam Islam. Jakarta, PT Bina Ilmu 1993.
  4. Center for Disease Control http://www.cdc.gov http://www.binbaz.org.sa/mat/238 diunduh 1 Juli 2012.
  5. Fatwa MUI 4 Syaban 1431 H/16 Juli 2010 M. Fatwa No. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah.
  6. Jenie UA. Obat sebagai produk rekayasa biokimiawi dan rekayasa genetika serta kaitannya dengan masalah kehalalannya. Disampaikan pada Lokakarya dampak RUU Jaminan Produk Halal terhadap obat dan vaksin bagi kesehatan masyarakat. Jakarta, Bidakara, 04 Juni 2012.
  7. Yanuarso PB. Pandangan Agama terhadap vaksinasi. Dalam: Trihono PP, Oswari H, Gunardi H, Hendarto A, penyunting. Simposium Imunisasi IDAI ke-3, Immunization for bright future of our children. Ikatan Dokter Anak Cabang Jakarta. 2012. H. 71-6.

Penulis: Piprim Basarah Yanuarso (Sekretaris Umum Pengurus Pusat IDAI)

7 Mei 2015

80 Persen Warga Aceh Masih Menganggap Imunisasi Haram

Hampir 80 persen masyarakat di seluruh kabupaten/kota di Aceh masih menganggap imunisasi terhadap anak itu haram setelah munculnya isu bahwa vaksin mengandung enzim babi.

Para dokter menyebutkan salah paham ini membuat upaya peningkatan kualitas kesehatan sulit diwujudkan.

“Ini yang menjadi kendala kita di lapangan selama ini, jika ada 10 ibu yang membawa anak saat imunisasi, hanya dua ibu yang mau anaknya di imunisasi,” kata Dr. Harilina Dimiati, SPAK, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh di Meulaboh, Minggu (3/5/2015).

Menurut Harilina, imunisasi penting dilakukan kepada anak demi kekebalan dan daya tahan tubuh anak.

Oleh karena itu, untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa imunisasi itu halal dan penting dilakukan, IDAI Aceh menggelar seminar mengenai pro kontra halal dan haram imunisasi di Kabupaten Aceh Barat dengan melibatkan ulama dan berbagai kalangan masyarakat setempat.

“Ini salah satu upaya kita untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa imunisasi itu halal dan penting dilakukan untuk anak. Di sini peran ulama sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam bahwa imunisasi itu halal, dan dari seminar ini nanti akan lahir rekomendasi ulama terhadap imunisasi,” tegasnya.*tribunnews

6 Mei 2015

Orang Tua Tak Perlu Pusing dengan Vaksin Halal atau Haram

Imunisasi merupakan cara pencegahan paling `murah` agar anak terhindar dari penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Karena itu, sayang sekali bila para orangtua tidak memberi imunisasi anak-anaknya dan lebih khawatir dengan persoalan haram dan halalnya vaksinasi.

Menurut Direktur Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia, Dr. Elizabeth Jane menyontohkan, jika suatu hari si kecil terkena campak, berapa biaya yang harus dikeluarkan orangtua untuk mengobatinya? Sudah pasti jauh lebih mahal dari biaya vaksin itu sendiri.

Jangan sampailah terkena dulu baru diobati. Padahal Indonesia sudah memiliki vaksin campak yang seharusnya didapat anak-anak.

Perdebatan halal atau haram yang terjadi di masyarakat pun disayangkan Sekretaris Majelis Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh. Menurut dia, MUI telah mengeluarkan vaksin halal yang juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang produk makanan dan obat halal.

Menurut Asrorun sudah seharusnya masyarakat kita menerima imunisasi sebagai pencegahan. Jika belum ada materi tersertifikasi halal, bukan berarti tidak boleh diberikan untuk menjaga kesehatan.

Arsip Blog