rubianto.id

Tampilkan postingan dengan label news. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label news. Tampilkan semua postingan

21 Agustus 2018

Menganggap Penuhi Unsur Kedaruratan, MUI Bolehkan Penggunaan Vaksin MR

Kompas.com - Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor 33 Tahun 2018 tentang penggunaan vaksin measless dan rubella untuk imunisasi. 

MUI menyatakan, pada dasarnya vaksin yang diimpor dari Serum Institute of India itu haram karena mengandung babi. Namun, penggunaannya saat ini dibolehkan karena keterpaksaan. 

"Karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Senin malam. 
"(Tetapi) penggunaan vaksin MR produk dari Serum Institute of India, pada saat ini, dibolehkan (mubah)," ucapnya.

Ada tiga alasan kenapa MUI untuk sementara ini membolehkan penggunaan vaksin MR.

Pertama, adanya kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah). Kedua, belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci. Ketiga, ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi vaksin MR. 

"Kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci," ucap Hasanuddin. 

MUI pun merekomendasikan pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. 

Produsen vaksin juga wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 

MUI juga mendorong pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.

Selain itu, MUI menyarankan pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk Muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal. 

Fatwa MUI ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Jika di kemudian hari ternyata fatwa ini membutuhkan perbaikan, maka MUI akan memperbaiki dan menyempurnakan sebagaimana mestinya. 

"Agar setiap Muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, mengimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini," kata Hasanuddin.

23 Desember 2017

Vaksin Difteri Haram? Begini Penjelasan Imam Besar Masjid Istiqlal

WABAH difteri menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Indonesia baru-baru ini. Penyakit ini disebut-sebut sebagai salah satu kejadian luar bisa (KLB) yang terjadi di tahun 2017. Setidaknya, sebanyak 11 provinsi di Indonesia terkena wabah mengerikan ini.

Difteri termasuk penyakit yang mudah menyebar sehingga menimbulkan ketakutan masyarakat. Orang yang terkena penyakit ini akan mengalami gejala demam tinggi, susah atau sakit saat menelan yang disertai dengan sesak napas dan yang paling parah dari penyakit ini adalah bisa menyebabkan kematian.

Korban difteri semakin lama kian bertambah banyak. Himbauan untuk memberikan vaksin kepada anak yang belum terjangkit semakin gencar dilakukan pemerintah. Pemberian vaksin atau imunasi menjadi cara tercepat yang dapat pemerintah lakukan demi menekan tingkat pertumbuhan penyakit ini.

Namun, masalah tak selesai sampai disini. Beberapa masyarakat justru enggan membawa anaknya untuk divaksin karena beranggapan bahwa vaksin yang diberikan tidak halal dan sesuai dalil Islam. Tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya anak yang terjangkit wabah ini. Ini kemudian menjadi polemik di masyarakat apakah harus memberikan vaksin kepada anaknya atau tidak.

Menanggapi keresahan masyarakat yang terjadi, Nasaruddin Umar selaku Imam Besar Masjid Istiqlal memberikan penjelasan bahwa seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir tentang haram tidaknya vaksin yang diberikan. Dalam Islam, ada keadaan di mana kita diperbolehkan untuk menghalalkan segala cara jika sudah menyangkut nyawa. Misalnya, dalam keadaan darurat umat Islam boleh mengonsumsi babi pada hari di mana tidak ada lagi makanan yang bisa dimakan selain babi tersebut.

”Masyarakat tidak perlu panik dan khawatir tentang anggapan bahwa vaksin tersebut haram, karena dalam hal ini kita sebaiknya mengutamakan keselamatan nyawa anak-anak kita dengan upaya pencegahan melalui penyuntikan vaksin tersebut.” ujarnya saat dihubungi via telepon oleh Okezone.

Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria yang menyerang saluran pernapasan sehingga penderitanya merasa kesulitan bernapas. Untuk, itu sebelum persebaran kuman ini semakin meluas, kita juga harus cepat dalam upaya pencegahan penyakit ini.

“Saya juga berharap agar pemerintah khususnya Kementerian Agama segera memberikan pernyataan mengenai keresahan di antara masyarakat ini. Klarifikasi sangat diperlukan agar tercapai jalan keluar dari masalah yang ada.” lanjutnya.okezone

Wajib Diberikan, Imunisasi Difteri Adalah Hak Anak

IMUNISASI DPT bersifat wajib diberikan untuk mencegah penyakit difteri. Sayang, banyak orang menolak atau memilih antivaksin yang sebenarnya justru bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Data terakhir Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per November 2017 menyebutkan bahwa terdapat 591 kasus difteri dengan 32 angka kematian. Sejumlah orang banyak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap lantaran berbagai alasan. Salah satunya karena kandungan vaksin yang dinilai tidak halal oleh sebagian masyarakat.

Padahal pemberian vaksin atau imunisasi merupakan salah satu hak anak yang sejalan dengan Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak. Namun demikian, pada kenyataannya masih banyak pihak yang melihat bahwa upaya vaksinasi bukan hak anak. Sehingga terjadi pengabaian pemberian vaksin, yang justru menjadi pintu masuk Kejadian Luar Biasa (KLB) lainnya di Indonesia.

"Data terakhir sudah ada 43 anak yang menjadi korban. Jumlah ini terus meningkat sekaligus mengalami penurunan cukup signifikan seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksinasi. Dalam hal ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan pengawasan dan pengecekan di lapangan, termasuk di beberapa rumah sakit. Serta mengonfirmasi bagaimana sebetulnya penanganan yang dilakukan pemerintah termasuk ketersediaan vaksin," tutur Rita Pranawati, MA, Wakil Ketua KPAI dalam jumpa pers di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2017).

Terkait hal tersebut, Komisi Perlindungan Republik Indonesia (KPAI) mengimbau agar setiap anak dibawa orangtuanya untuk dilakukan imunisasi mengingat hal tersebut merupakan hak anak.

"Masalah imunisasi adalah hak anak, siapa pun, orangtua sendiri harus memberikan hal tersebut. Bila tidak diberikan maka proses tumbuh kembang anak tidak akan berjalan dengan maksimal," ujar Sitti Hikmawaty, perwakilan KPAI komisioner bidang kesehatan.

"Kita harus memberikan imunisasi karena itu adalah hak anak. Pertama diberikan penyadaran terlebih dulu bila tidak berubah bukan tidak mungkin akan ditindakpidanakan," lanjutnya.

Pemberian imunisasi atau vaksinasi perlu dipenuhi oleh setiap anak mengingat anak tinggal dengan orangtuanya. Karena itu, orangtua wajib membawa sang anak untuk diberikan imunisasi.

"Kami juga mengimbau secara luas agar pemerintah menyediakan vaksinasi secara halal. Kualitas vaksin harus bagus dari segi kehalalan dan distribusinya. Partisipasi masyarakat pun penting karena tanpa peran orangtua, sekolah, tokoh masyarakat, menjadi sulit dicapai 80 persen imunisasi terpenuhi," tambah Rita.

Kehadiran gerakan antivaksin yang banyak dilakukan di media sosial sejatinya perlu diingatkan bahwa bagi anak-anak yang tidak dilakukan vaksinasi maka yang mengalami sakit akan semakin banyak.

"Gerakan antivaksin merupakan penyumbang terbesar kegagalan antivaksin secara nasional. Jadi, penting setiap kegiatan yang dilakukan perlu ada penyadaran sebelumnya. Merangkul advokasi dan memberi edukasi agar imunisasi bisa diterima karena demi kepentingan bersama," tutup Rita.okezone

7 Desember 2016

Program Imunisasi Masih Hadapi Tantangan

Program imunisasi telah berjalan sejak 1956, dimulai dengan pemberian vaksin variola (cacar). Hingga tahun ini, telah terjadi banyak perkembangan dalam program imunisasi nasional, mulai dari BCG, TT, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B, DPT/HB (kombinasi), DPT/HB/Hib, hingga IPV. 

Tahun ini, pemerintah mengupayakan adanya imunisasi Human Paphiloma Virus (HPV) gratis untuk anak usia sekolah di DKI Jakarta. Tahun depan hingga 2018, program ini juga akan dilaksanakan di dua kabupaten, di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Dr Jane Soepardi, mengatakan, imunisasi merupakan intervensi paling hemat biaya (cost effective) untuk mencegah timbulnya berbagai penyakit berbahaya. Cara ini berkontribusi dalam pencapaian tujuan keempat MDG, yaitu penurunan angka kematian anak. 

Data SDKI menunjukkan, imunisasi dapat menurunkan tingkat kematian bayi dalam 20 tahun terakhir. Pada 1991, angka kematian bayi mencapai 61:1000. Ini disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kondisi ketika melahirkan, infeksi saluran pernapasan, diare, tetanus, difteri, pertusis, kekurangan gizi, gangguan sistem saraf, bronchitis, asma, serta infeksi dan parasit lain. Jumlah ini terus berkurang hingga perbandingan 26:1000 pada 2012. Imunisasi tradisional disebut sebagai salah satu faktor yang menyebabkan penurunan ini. 

Di Indonesia, pemberian imunisasi bersifat wajib (mandatory). Aturan ini diatur dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 2 dan 28H ayat 1. Ada pula UU Perlindungan Anak no. 35 tahun 2014 dan UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Dengan adanya aturan ini semua pihak wajib mendukung terselenggaranya program imunisasi. 

Pemerintah pusat mewujudkan kepeduliannya dengan penyediaan vaksin gratis. Ini didukung oleh pemerintah daerah sebagai penyelenggara imunisasi. Bagi kalangan swasta, keikutsertaan dalam program imunisasi tidak mengikat. “Kalau masyarakat harus sadar hukum dan berperan aktif dalam imunisasi,” kata Jane.   

Indonesia pernah beberapa kali mencatat keberhasilan program imunisasi. Tepatnya pada 1980, terjadi eradikasi penyakit cacar sejak pertama kali program imunisasi diluncurkan pada 1973. Akhirnya imunisasi cacar secara resmi dihentikan. Eradikasi juga terjadi untuk penyakit polio. Sejak diluncurkan pada 1980, eradikasi baru terjadi pada 2006. Sementara, untuk tetanus maternal dan neonatal, tidak bisa mencapai eradikasi. Namun, hingga Mei 2016 Indonesia telah berada di ambang batas aman penyakit tetanus. 

Untuk dapat mengulang kesuksesan ini, pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Di tingkat keluarga, orang tua tak boleh bosan mengantar anaknya menjalani imunisasi tepat pada waktunya. Kementrian kesehatan telah membekali setiap anak dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang digunakan di Posyandu, TPA, dan PAUD.*republika 

4 Desember 2016

Orang Tua Bisa Dijerat Pidana Jika Tak Imunisasi Anak

Direktur Surveilans Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Jane Soepardi mengatakan ada ancaman pidana bagi orang tua yang tidak memberikan imunisasi untuk anaknya. Ia mengatakan hal itu bisa dilakukan karena orang tua dianggap melanggar undang-undang.

"Sebetulnya, kalau ada orang tua yang tidak melakukan imunisasi, secara undang-undang, bisa dipidana karena anaknya berhak mendapatkan imunisasi," ujarnya saat mengadakan temu media atas kunjungan Global Alliance for Vaccine and Immunization (Gavi) di Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Senin, 28 November 2016.

Jane memaparkan, penggunaan vaksin sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2002 tentang hak dan kewajiban anak pasal 8 yang berbunyi, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.” Ia mengatakan imunisasi termasuk dalam pelayanan kesehatan.

Pihaknya juga akan meminta bantuan Komisi Perlindungan Anak terkait dengan hal ini. "Anak itu kan tidak bisa meminta, tidak mengerti, sehingga hak anak itu (imunisasi) diperjuangkan. Maka jika orang tuanya tidak memperjuangkan, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) harus mengambil alih," katanya.

Jane juga sedang merencanakan program rapor kesehatanku. Rapor tersebut berisi catatan pelayanan kesehatan dan hak anak, termasuk imunisasi. "Nanti kami akan bekerja sama dengan swasta membuat stamp untuk anak. Setiap pelayanan kesehatan, kalau dikumpulkan, bisa digunakan untuk berbelanja di supermarket dan juga bisa ditukar dengan pulsa," tuturnya.

Jane berharap adanya program ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan imunisasi. "Jadi nanti anaknya senang dan ibunya bisa belanja," ucapnya.*tempo

30 November 2016

2017, Vaksin Campak dan Rubella Masuk Program Imunisasi Nasional

Direktur Surveillance dan Karantina Kesehatan Dirjen P2P Kemenkes RI, dr. Elisabeth Jane Soepardi, MPH, DSc mengatakan bahwa mulai 2017, vaksin untuk mencegah penyakit campak dan rubella yakni Measles Rubella (MR) akan masuk program imunisasi nasional.

Masuknya vaksin MR dalam program imunisasi nasional ini dilatarbelakangi cakupan vaksin campak yang terus mengalami penurunan. Pada 2015 misalnya, cakupannya hanya 53.3 persen, dan terus menurun di bawah 48 persen pada September 2016 ini.

"Selama ini kita baru pakai vaksin campak, tetapi dengan vaksin MR, kita bisa cegah juga penyakit rubella," ujar dia pada temu media di Kementerian Kesehatan, Senin (28/11/2016).

Rencananya, tambah Elisabeth, pemberian vaksin MR dalam program imunisasi nasional akan dimulai pada Agustus-September 2017 di Pulau Jawa yang kemudian akan dilanjutkan pemberian fase kedua pada Agustus-September 2018.

Dengan adanya strategi tambahan imunisasi nasional ini, kata Jane, mulai 2018, jenis vaksin campak dan Rubella yang diberikan adalah MR pada anak berusia 9 bulan-15 tahun.

"Kenapa sampai anak usia 15 tahun, karena dengan asumsi anak yang usianya di atas 15 tahun sudah pernah mengalami rubella sehingga terbentuk antibodi secara otomatis di tubuhnya," terangnya.*suara

16 September 2015

Garis Akhir Melawan Virus Polio

Kemenangan dunia melawan virus polio di depan mata. Setelah berabad-abad virus polio jadi ancaman serius di banyak negara, eradikasi atau bebas dari polio yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia mendekati garis akhir tiga tahun ke depan.

Polio pertama diidentifikasi tahun 1789 saat dokter asal Inggris, Michael Underwood, menyebut gambaran klinis yang dikenal sebagai polio dengan menyatakan sebagai "a debility of the lower extremities". Lalu, dokter Jakob Heine (1840) dan Karl Oskar (1890) mencatat sejumlah gejala polio yang banyak menyerang anak-anak.

Pada paruh pertama abad ke-20, mengutip situs poliotoday.org, polio penyakit menakutkan di negara industri menyebabkan ribuan anak lumpuh setiap tahun. Wabah polio menjadi pandemi di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Di AS, pada 1952, epidemi polio terburuk ditandai hampir 58.000 kasus, 3.145 pasien meninggal dan 21.269 pasien cacat.

Penyebaran virus polio itu bisa dieliminasi setelah vaksin polio pertama yang aman dan efektif sukses dikembangkan Dr Jonas Salk tahun 1955. Sebelum vaksin tersedia luas, rata-rata kasus polio di AS lebih dari 45.000 pasien. Tahun 1962, angka itu turun menjadi 910 kasus.

Namun, penularan virus polio masih menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang. Untuk itu, mengutip situs polioeradication.org, pada 1970-an, imunisasi rutin dikenalkan di dunia sebagai bagian program imunisasi nasional.

Eradikasi

Infeksi virus poliomyelitis bisa menyebabkan lumpuh layuh. Virus polio ada di tenggorokan dan usus manusia sehingga bisa menular melalui air liur dan tinja. Apabila terkena matahari, virus mati dalam hitungan hari.

Inisiatif eradikasi polio global diluncurkan pada sidang pleno anggota WHO (World Health Assembly/WHA) 1988. Saat itu, polio menyebabkan kelumpuhan 1.000 anak per hari. Sejak ada inisiatif global, 2,5 miliar anak diimunisasi polio hasil kerja sama 200 negara dan 20 juta relawan, didukung dana global lebih dari 9 miliar dollar AS.

Sejauh ini, inisiatif eradikasi atau bebas polio global menekan angka polio lebih dari 99 persen. Jumlah negara endemik polio turun drastis dari 125 negara jadi tiga negara. Bahkan, sejak Agustus 2014, virus polio liar hanya terdeteksi di Afganistan dan Pakistan, sedangkan Nigeria negara endemik polio ketiga tak ada kasus sejak Juli 2014.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan menyatakan, virus polio liar tak ditemukan lagi sejak 1995. Untuk meyakinkan itu, digelar Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada 1995, 1996, dan 1997. Bahkan, di sebagian wilayah, PIN diulang tahun 2000, 2001, dan sekali lagi 2002.

Namun, pada 2005, polio kembali muncul di Tanah Air. Penularan virus terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, akibat penurunan cakupan imunisasi polio. Saat itu, 16 anak positif terinfeksi virus polio liar, dan ditemukan 13 kasus lumpuh layuh mendadak (acute flaccid paralysis/AFP) yang belum tentu akibat polio.

Kemunculan kasus polio itu membuat pemerintah melaksanakan imunisasi polio nasional dalam beberapa putaran. Meski kini tak lagi ditemukan kasus penularan virus itu, tak berarti Indonesia bebas polio mengingat belum optimalnya pemantauan penyakit di daerah.

Penarikan vaksin

Untuk mencapai target bebas polio pada 2018 di semua negara di dunia, termasuk Indonesia, upaya dilakukan. Mengingat virus itu menular lewat kotoran manusia, masyarakat diimbau menjaga kebersihan lingkungan atau memperbaiki sanitasi.

Imunisasi pun jadi strategi utama eradikasi polio. Dalam WHA ke-68 yang dihadiri delegasi dari 194 negara anggota WHO di Geneva, Swiss, Jumat (22/5), disepakati kebijakan WHO terkait penarikan vaksin polio oral (OPV) diadopsi semua negara secara bertahap. Dalam strategi global eradikasi polio, pada akhir 2015 OPV ditarik dan diganti vaksin polio suntik mengandung virus tak aktif.

Selain itu, tahun 2016, negara-negara anggota WHO berencana menarik komponen serotipe 2 dalam vaksin polio trivalen (komponennya terdiri dari tiga tipe: 1, 2, dan 3) yang dipakai dalam sistem imunisasi rutin secara global. Vaksin itu akan digantikan vaksin polio bivalen (tipe 1 dan 3). "Inisiatif ini tak boleh gagal," kata Direktur Jenderal WHO Margaret Chan.

Langkah itu untuk mengeliminasi risiko vaksin terkait paralytic polio (VAPP) dan potensi munculnya kembali virus polio karena OPV memakai virus aktif yang dilemahkan. Data WHO, 145 negara memakai vaksin polio oral trivalen pada anak dalam program imunisasi rutin. Kini, mayoritas wilayah WHO bebas polio, termasuk di kawasan endemik polio.

Butuh persiapan

Namun, target dunia bebas polio hanya bisa dicapai melalui solidaritas global. Pelaksanaan resolusi strategi eradikasi polio tahap akhir 2013-2018 butuh jaminan ketersediaan vaksin sesuai ketentuan WHO dan kesiapan infrastruktur kesehatan.

Pada pertemuan itu, Indonesia satu-satunya negara yang mengajukan amandemen resolusi itu agar waktu penarikan vaksin polio oral disesuaikan kesiapan tiap negara. "Indonesia setuju resolusi end game strategy polio 2013-2018, tapi tak sepakat jadwal implementasinya," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes M Subuh, Jumat (4/9).

Indonesia minta pengecualian terkait jadwal penarikan vaksin polio oral. Alasannya, kondisi geografis, waktu sosialisasi, dan penguatan kapasitas tenaga kesehatan. Jika siap, program dilakukan sesuai resolusi.

Perubahan cara mengimunisasi juga jadi alasan. Selama ini vaksin polio oral diberikan dengan meneteskan ke mulut anak di bawah lima tahun. Adapun, vaksin polio dengan komponen virus tak aktif atau mati diberikan dengan cara disuntikkan.

Selain itu, kesiapan industri vaksin dalam negeri dinantikan. Selama ini, Biofarma memproduksi OPV untuk kebutuhan dalam negeri dan mengekspornya. Butuh waktu mengalihkan produksi dari OPV trivalen jadi vaksin polio bivalen. "Kami ingin tetap mandiri dalam pengadaan vaksin polio," kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek.

Tantangan itu mendesak diatasi demi dunia tanpa polio. Itulah dunia tempat anak terbebas dari ancaman kelumpuhan. Itu juga menandai babak akhir pertempuran panjang melawan polio.

10 Mei 2015

Jika ASI Ibarat Pagar Rumah, Imunisasi Kunci Rumah

Golongan antivaksin percaya hanya memberi air susu ibu (ASI) tanpa perlu diimunisasi sudah cukup melindungi si kecil dari beragam penyakit berbahaya.

Manfaat ASI memang dapat membuat tubuh si kecil kebal, tapi bila ditambah dengan rutin imunisasi maka kekebalan tubuh si kecil semakin bertambah.

"ASI itu ibarat pagar rumah, imunisasi itu kunci dari semua yang ada di rumah. Kalau pagar rumah dibobol, tapi sisanya terkunci rapat termasuk brankas, ya nggak akan kemalingan," kata Sekretaris Satgas PP-IDAI & Ahli Tumbuh Kembang Anak FKUI-RSCM, Dr. Soedjatmiko, SpA (K), MSi dalam diskusi `School of Vaccine for Journalist` di Hotel Eastparc, Yogyakarta, Jumat (8/5/2015)

Ketika seorang anak diimunisasi, lanjut Soedjatmiko, dalam kurun waktu dua sampai empat miggu si kecil sudah memiliki kekebalan di dalam tubuhnya.

"Dan imunisasi dapat melindungi seorang anak sebesar 85 sampai 95 persen. Ingat, tak ada di dunia ini yang 100 persen. Di atas 80 persen itu sudah bagus," kata Soedjatmiko.

Meski imunisasi tidak melindungi si kecil sebesar 100 persen, paling tidak kemungkinan si kecil mengalami kondisi yang tidak diinginkan sangatlah kecil. "Campak masih mungkin terkena, tapi tidak separah yang tidak diimunisasi," kata Soedjatmiko.

Prinsipnya, imunisasi memberikan kekebalan yang lebih spesifik. Dan tidak benar bila program imunisasi menekan kekebalan.*liputan6

7 Mei 2015

Imunisasi Berhasil Cegah 3 Juta Kematian per Tahun

Direktur Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan, Elizabeth Jane mengatakan, imunisasi atau vaksin merupakan upaya kesehatan yang paling cost effective. Berapa pun mahalnya harga sebuah vaksin akan jauh lebih murah dibandingkan biaya pengobatan bila sudah terserang penyakit.

"Imunisasi akan melindungi anak dari kesakitan dan kematian akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Ini menjadi hak anak yang harus dipenuhi setiap orang tua," kata Elizabeth Jane di acara "Pekan Imunisasi Dunia" di RSCM Jakarta.

Imunisasi menurutnya telah berhasil mencegah kematian sampai dua hingga tiga juta setiap tahun dan dapat melindungi anak-anak bukan saja terhadap penyakit yang vaksinnya telah tersedia selama ini, seperti difteri, pertusis, tetanus, hepatitis b, polio, dan campak, tetapi juga terhadap penyakit pneumonia dan meningitis melalui vaksin haemophilus influenzae type B.

"Imunisasi telah berhasil menurunkan 90 persen angka kesakitan dan kematian akibat difteri, pertusis, tetanus, dan campak bila dibanding 20 tahun lalu," ungkap Jane.

Karena itu, cakupan imunisasi yang saat ini baru sekitar 86 persen diharapkan bisa lebih ditingkatkan. "Kita harapkan cakupan imunisasi dasar di setiap desa bisa mencapai di atas 90 persen," imbuh Jane.*beritasatu

80 Persen Warga Aceh Masih Menganggap Imunisasi Haram

Hampir 80 persen masyarakat di seluruh kabupaten/kota di Aceh masih menganggap imunisasi terhadap anak itu haram setelah munculnya isu bahwa vaksin mengandung enzim babi.

Para dokter menyebutkan salah paham ini membuat upaya peningkatan kualitas kesehatan sulit diwujudkan.

“Ini yang menjadi kendala kita di lapangan selama ini, jika ada 10 ibu yang membawa anak saat imunisasi, hanya dua ibu yang mau anaknya di imunisasi,” kata Dr. Harilina Dimiati, SPAK, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh di Meulaboh, Minggu (3/5/2015).

Menurut Harilina, imunisasi penting dilakukan kepada anak demi kekebalan dan daya tahan tubuh anak.

Oleh karena itu, untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa imunisasi itu halal dan penting dilakukan, IDAI Aceh menggelar seminar mengenai pro kontra halal dan haram imunisasi di Kabupaten Aceh Barat dengan melibatkan ulama dan berbagai kalangan masyarakat setempat.

“Ini salah satu upaya kita untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa imunisasi itu halal dan penting dilakukan untuk anak. Di sini peran ulama sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam bahwa imunisasi itu halal, dan dari seminar ini nanti akan lahir rekomendasi ulama terhadap imunisasi,” tegasnya.*tribunnews

4 Mei 2015

Menyoal Kandungan Enzim Babi di Dalam Vaksin

Sudah banyak orang tahu bahwa imunisasi bisa bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak, bahkan sampai dewasa. Tapi isu yang beredar saat ini membuat para orang tua enggan mengimunisasi anaknya. 

"Padahal dulu waktu zamannya Mandra, cakupan imunisasi sampai 100 persen," kata Direktur Jenderal Bina Kesehatan Anak, Elizabeth Jane dalam Seminar Pekan Imunisasi Nasional di RSCM Kiara. 

Tapi kini, berbagai isu yang mewarnai seperti vaksin imunisasi yang tidak halal sampai efek samping imunisasi yang 'katanya' bisa sampai membuat anak autis dan bisa meregang nyawa, membuat orang tua menjadi takut mengimunisasi anaknya. 

Bahkan sampai muncul kelompok anti-vaksin. "Mereka rela anaknya meninggal. Setidaknya anak mereka tidak menderita autis," kata dokter anak dari RS Cipto Mangunkusumo, Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K).

Isu-isu tersebut pun akhirnya menurunkan angka imunisasi di Indonesia cukup signifikan. "Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar mengeluhkan terjadi penurunan hebat dari 93 ke 35 persen," ujar Piprim. 

Lebih jauh lagi ia mengatakan ada kejadian luar biasa penyakit difteri yang sampai merenggut nyawa dua orang masyarakat karena mereka tak mau divaksin. 

Belum lagi isu kalau vaksin yang digunakan dalam imunisasi adalah haram. Padahal menurut pendiri rumah vaksin itu, halal atau haram tidak tergantung pada sertifikasi tapi dari zat yang terkandung dalam vaksin tersebut. 

"Fitnah besar kalau vaksin menggunakan babi. Dalam pembuatan vaksin, enzim babi hanya bersenggolan tidak masuk di dalamnya," kata Piprim menegaskan. 

Ia memang tak memungkiri kalau dalam pembuatan vaksin menggunakan enzim babi. Namun, enzim itu hanya digunakan untuk memotong protein. 

"Pencuciannya sampai ratusan ribu, sampai miliaran kali dicuci. Jadi produk akhirnya bebas enzim babi. Karena kalau enzim itu masih ada vaksinnya hancur," ujar Piprim. 

"MUI pun bilang vaksin halal dan baik," katanya menegaskan. 

Untuk itu Piprim terus mengimbau masyarakat agar tetap melakukan imunisasi. Pasalnya, semahal-mahalnya vaksin yang dipakai untuk mencegah infeksi penyakit masih jauh lebih murah dibandingkan dengan mengobati penyakit yang telanjur terjangkit

"Vaksin itu tidak tergantikan. Kalau ada bakteri biasa kita punya pertahanan non spesifik. Olahraga teratur atau herbal itu cukup," katanya. "Tapi dalam menghadapi bakteri berbahaya kita enggak mungkin mangandalkan itu."

Bakteri berbahaya yang dimaksud adalah yang bisa menimbulkan penyakit seperi difteri, polio, batuk rejan, tetanus, campak, cacat dan lain sebagainya.*cnn

Jika Anak Sampai Tak Imunisasi, Negara pun Bisa Rugi

Seperti halnya perempuan yang terkena nyeri haid dapat merugikan perekonomian sebuah bangsa, tidak memberikan imunisasi pada anak pun ternyata juga berdampak hal serupa. 

Di 20 negara bagian di Amerika Serikat, ada sekitar 200 kasus penyakit campak. Mereka yang terjangkit campak ternyata adalah mereka yang tidak melakukan imunisasi. 

"Per kasus pengalaman di Amerika itu US $10.376 untuk merawat yang campak berat karena tidak imunisasi," kata Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dokter Aman Bhakti Pulungan dalam seminar Pekan Imunisasi Nasional, di Jakarta. 

Kasus campak itu pun ternyata bisa menyebabkan si penderitanya sampai meninggal. Untuk mengobati orang-orang yang terjangkit ini pun negara harus bertanggung jawab sepenuhnya. 

Akibatnya banyak uang yang harus digelontorkan untuk menyembuhkan mereka yang terlanjur terjangkit campak. "Kalau kejadian seperti ini di Indonesia, BPJS, atau asuransi mana juga bisa bangkrut," kata Aman. 

"Dari sini negara juga bisa bangkrut untuk menutup yang rugi ini," ujarnya melanjutkan. 

Padahal sejatinya, pemberian imunisasi pada anak merupakan hal yang wajib. Sebab, imunisasi merupakan salah satu hak anak. Dengan imunisasi anak bisa tumbuh berkembang dengan baik tanpa harus terserang penyakit berbahaya. 

Di Indonesia pun sudah ada undang-undang tentang sanksi untuk siapapun yang melarang atau menghalangi anak untuk mendapatkan imunisasi. Dan imunisasi yang disediakan pemerintah pun semuanya gratis. 

"Negara memutuskan imunisasi yang disediakan pemerintah itu wajib. Itu hak anak. Undang-undang perlindungan anaknya ada," kaya Direktur Bina Kesehatan Anak, Elizabeth Jane. "Yang menghalanginya akan melanggar undang-undang dan terancam pidana."

Tapi faktanya, masih saja ada orang tua yang melarang anaknya disuntik imunisasi. "Kalau sampai ini disampaikan ke Komite Perlindungan Anak, mereka akan melaporkan orang tuanya dan akan menolong anak-anak itu," ujar Jane. 

Meski saat ini belum semua vaksin bisa dibiayai pemerintah, tapi setidaknya pemerintah sudah memberikan vaksin-vaksin prioritas yang cukup untuk mencegah anak terjangkit penyakit berbahaya. 

"Prioritas negara adalah penyakit yang mematikan dan membuat cacat," kata Jane.*cnn

2 Mei 2015

Cerita Artika Sari Devi Berikan Imunisasi Lengkap untuk Anak

Anak adalah harta paling berharga yang dititipkan Tuhan untuk para orang tua. Menjaga kesehatannya adalah hal mutlak yang harus dilakukan ayah ibunya. 

Tak cukup memberikan ASI eksklusif dan makanan bergizi, untuk menjaga kesehatan anak juga perlu imunisasi. Namun sayangnya, tak semua orang tua paham dan mengerti betul tentang fungsi imunisasi. Terbukti dengan cakupan imunisasi nasional yang bahkan kini belum mencapai angka 100 persen. 

Menyadari betul bahwa imunisasi merupakan salah satu hak anak, Puteri Indonesia 2004, Artika Sari Devi ternyata rutin mengimunisasi anaknya. 

Di tengah pro dan kontra imunisasi, Artika bukannya tinggal diam dan terhasut pendapat di luar. Ia justru terus mencari tahu tentang imunisasi langsung dari ahlinya. 

"Ini tugas saya. Saya sampai googling, cari di WHO, diskusi juga dengan dokter, akhirnya dalam agama pun lebih banyak maslahatnya," kata Artika saat ditemui usai acara seminar Pekan Imunisasi Nasional di RSCM Kiara, Jakarta Pusat. 

Artika sadar bahwa imunisasi adalah cara untuk melindungi anak dari penyakit berbahaya. Bahkan sampai anak itu dewasa. Walaupun risiko untuk tidak terkena penyakit seumur hidup masih tetap ada setidaknya ia sudah memperkecil risikonya.

"Saya tidak mau mengambil risiko tidak memberikan hak anak saya. Saya tidak mau mengambil risiko itu serendah apapun," ujarnya. 

Kini kedua anak Artika, Sarah Ebiela Ibrahim dan Dayana Zoeli Ibrahim sudah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai anjuran pemerintah. Ini berkat kesadaran Artika dan suaminya, Baim untuk berkomitmen menjaga kesehatan anak. 

Meski anak mereka sempat mengalami demam usai imunisasi, mereka pun tidak lantas meninggalkan imunisasi karena mereka sudah mencari banyak informasi sebelumnya. 

"Kami sudah tahu. Oke nanti akan ada demamnya. Tinggal kompres dengan handuk. Kalau sampai 38,5 dan rewel baru dikasih obat penurun panas saja," ujar perempuan berusia 35 tahun itu. 

"Paling suami saya panik kalau mau imunisasi. Minta yang kombi sekali suntik saja soalnya dia enggak tega kalau anaknya disakitin," kata Artika menambahkan.*cnn

29 April 2015

Rapor Imunisasi Jadi Syarat Masuk SD

Pemerintah akan memasukkan rapor imunisasi sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi saat orang tua mendaftarkan anaknya masuk Sekolah Dasar (SD). Hal itu merupakan upaya pemerintah untuk memaksa ibu-ibu secara rutin memberikan imunisasi kepada anaknya.

"Hari ini kita sedang mewujudkan imunisasi. Supaya anak-anak kita tidak terkena penyakit. Kalau kita mau menjadi negara yang kuat. Anak-anak kita harus berkualitas. Selain itu hari ini, kita luncurkan rapot atau catatan imunisasi sebagai pegangan ibu-ibu," kata Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F Moeloek saat membuka Hari Imunisasi Dunia, di Simpang Selatan Monas, Jakarta, Minggu (26/4/2015).

Ia mengatakan, buku rapor itu akan menjadi catatan ibu kepada anaknya mengenai imunisasi yang telah dilakukan. Sehingga rangkaian imuniasi yang dilakukan orang tua kepada anaknya dapat dikontrol dengan baik.

Istri Gubernur DKI Jakarta, Veronica Tan mengatakan, pihaknya akan memasukkan rapor imunisasi sebagai syarat masuk sekolah dasar. Syarat itu akan memaksa orang tua yang selama ini lalai menjadi lebih rajin memperhatikan kesehatan anak.

"Ibu menteri sudah katakan, nanti buku-buku yang diberikan sebagai pegangan, ini akan menjadi syarat untuk anak-anak masuk sekolah dasar. Saya rasa itu usaha dari kita, pemerintah, bagaimana kita memaksa ibu-ibunya imunisasikan anak-anaknya," kata Vero.(metrotvnews)

24 April 2015

Orangtua Bisa Kena Sanksi Bila Tak Beri Imunisasi pada Anak

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, seorang ibu yang tidak memberi imunisasi si kecil dianggap telah melakukan tindakan kriminal dan bisa dituntut di pengadilan.

"Permenkes ini merupakan turunan dari Undang-undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009. Di mana UU itu dibuat oleh rakyat (Wakil Rakyat), buat rakyat, dan atas perintah rakyat. Rakyat Indonesia yang meminta itu diatur Undang-undang. Jadi, siapa yang melanggar dapat dipidana," kata Direktur Bina Kesehatan Anak Republik Indonesia, Dr. Elizabeth Jane di Gedung Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Mega Kuningan, Jakarta, Senin (20/4/2015)

Imunisasi, lanjut Jane, merupakan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh orangtua dan petugas kesehatan. Bila ada petugas yang tidak memberikan imunisasi sesuai buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dapat dianggap melakukan tindak kriminal.

"Apa hak seorang anak, ibu dan petugas harus tahu. Ketika periksa kehamilan, ibu dikasih buku KIA yang di dalamnya tertera apa saja yang dibutuhkan si anak (dalam hal vaksinasi dan imunisasi). Jadi, penuhi itu," kata Jane.

Bahkan ketika orangtua menuntut pihak rumah sakit atau petugas kesehatan jika suatu waktu anaknya meninggal karena hal yang tidak diinginkan, penegak hukum juga berhak menghukum orangtua bila ditemukan ada kewajiban orangtua yang tidak dipenuhi, yaitu imunisasi.(liputan6)

Imunisasi dan Vaksin Diharapkan Merata se-Indonesia

Pekan Imunisasi Dunia telah diperingati di Indonesia sejak 2013 dengan berbagai kegiatan. Tahun ini, tema global adalah Close the Immunization Gap dan tema nasional adalah Bersama Wujudkan Cakupan Imunisasi yang Tinggi dan Merata.
 ‎
Penyelenggaraan Kegiatan Pekan Imunisasi Dunia bertujuan untuk mengurangi kesenjangan imunisasi dan mencapai kesetaraan dalam mendapatkan pelayanan imunisasi melalui promosi penggunaan vaksin untuk melindungi masyarakat dari penyakit berbahaya. 

Tujuan penyelenggaraannya adalah :
  1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi guna mencegah penyakit berbahaya;
  2. Memperkuat imunisasi rutin untuk mencapai target cakupan imunisasi;
  3. Mempercepat pengendalian Penyakit-Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi atau PD3I;
  4. Memperkenalkan vaksin baru dengan baik;
  5. Memberikan informasi yang benar kepada masyarakat dalam  menyikapi isu yang tidak benar tentang imunisasi;
  6. Membangkitkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan dalam mendukung pelaksanaan imunisasi.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah:
  1. Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang pentingnya imunisasi kepada seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah pusat dan daerah, para  tokoh masyarakat serta tokoh agama;
  2. Membuka waktu pelayanan imunisasi satu pekan penuh di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Polindes, Rumah Sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya;
  3. Melaksanakan kegiatan Drop Out Follow Up (DOFU)/ Sweeping Imunisasi dengan menggunakan Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di Puskesmas;
  4. Melakukan penyebarluasan informasi kepada masyarakat dalam bentuk media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Imunisasi seperti spanduk, poster, leaflet, dll.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, DTCE mengatakan, kita perlu bersama-sama berperan aktif dalam meningkatkan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata sehingga dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi kesehatan anak kita dan sekaligus dapat mencegah timbulnya penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi.(liputan6)

Arsip Blog