rubianto.id

Tampilkan postingan dengan label kesehatan jiwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesehatan jiwa. Tampilkan semua postingan

29 Juni 2024

JUDI adalah Gangguan Kesehatan yang Mempengaruhi Otak

Menurut hasil penelitian industri IBISWorld, ukuran pasar industri kasino dan perjudian daring global mencapai US$ 292,1 miliar pada 2023, meningkat 15 persen dari tahun sebelumnya. Pesatnya perkembangan perjudian online berkontribusi terhadap pendapatan kotor perjudian di negara-negara penyelenggaranya dan diperkirakan tumbuh lebih cepat dibandingkan kasino konvensional.

Banyak orang menganggap judi sebagai bentuk hiburan yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Sayangnya, saat Anda menormalisasi perjudian, maka aktivitas ini akan menjadi kecanduan dan gangguan. Seseorang yang kecanduan judi harus berulang kali berjudi untuk mencapai kepuasan melalui pelepasan dopamin.

Diperkirakan sekitar 0,2-5,3 persen orang dewasa di seluruh dunia menderita gangguan perjudian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengakui kecanduan judi sebagai sebuah gangguan. Di beberapa negara, perjudian diakui sebagai kegiatan yang legal dan menyenangkan dan jutaan orang terlibat di dalamnya. Perjudian di era modern ini sebagian besar telah dilakukan secara dalam jaringan (daring), termasuk berbagai kegiatan olahraga dan non-olahraga yang dipertaruhkan.

Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental dari American Psychiatric Association (DSM-5) menganggap gangguan perjudian sebagai kecanduan perilaku. Dalam beberapa hal, gangguan perjudian mirip dengan gangguan penggunaan narkotika. Keduanya mengubah susunan kimiawi otak dan dapat memiliki ciri-ciri penarikan diri dan toleransi.

Para ahli di American Psychiatric Association bersepakat bahwa tidak ada penyebab tunggal dari gangguan perjudian atau kecanduan lainnya. Perubahan struktur kimiawi otak, genetika serta ciri-ciri kepribadian dan kondisi kesehatan mental dapat berkontribusi terhadap perkembangan gangguan perjudian. Orang dengan penyakit mental yang menyertai atau gangguan penggunaan narkotika memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perjudian yang berlebihan.

Proses kecanduan terhadap sesuatu terjadi ketika seseorang berulang kali melatih otaknya untuk mendapatkan kepuasan dari suatu tindakan. Individu tersebut juga dapat menerima imbalan dari tindakan tersebut. Dalam kasus perjudian, seseorang dapat melipatgandakan uang yang dipertaruhkan.

Perjudian mempengaruhi pusat imbalan di otak Anda. Manusia secara biologis termotivasi untuk mencari imbalan yang biasanya datang dari perilaku sehat. Saat Anda menghabiskan waktu bersama orang tersayang atau menyantap makanan lezat, tubuh Anda melepaskan dopamin, yang membuat Anda merasakan kenikmatan. Ini menjadi sebuah siklus: Anda mencari pengalaman ini karena ia memberi Anda perasaan yang baik.

Perjudian juga mengirimkan lonjakan besar dopamin di otak. Namun, alih-alih memotivasi Anda untuk melakukan hal-hal produktif, tingkat dopamin yang sangat besar justru berdampak buruk pada pikiran, perasaan, dan perilaku Anda. Hal ini mendorong Anda untuk mencari lebih banyak kesenangan dari perjudian dan mengurangi aktivitas yang lebih sehat. Seiring waktu, perjudian mengubah susunan kimiawi otak dan Anda menjadi tidak peka terhadap dampaknya. Anda kemudian perlu bertaruh lebih banyak untuk menghasilkan efek yang sama.

Pelepasan dopamin adalah hadiah yang diterima para penjudi untuk terus bermain. Hal ini juga terjadi pada norepinefrin (noradrenalin). Sebuah studi oleh Jazaeri & Habil yang diterbitkan dalam Indian Journal of Psychological Medicine pada 2012 dan Institut Pemulihan Kecanduan Illinois menemukan bahwa penjudi patologis memiliki tingkat norepinefrin yang lebih rendah daripada penjudi normal. Dengan demikian, penjudi patologis menggunakan perjudian sebagai cara untuk meningkatkan sekresi norepinefrin.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ada kesamaan biologis antara perjudian dan penggunaan narkotika. Mengingat perjudian adalah perilaku yang berorientasi pada imbalan, maka perjudian dapat diterapkan pada kelinci percobaan di laboratorium. Dalam sebuah percobaan yang dilakukan pada tikus, tikus belajar untuk menghindari pilihan tertentu untuk memaksimalkan keuntungan pelet gula, yang dirancang mirip dengan perjudian. Temuan penelitian lain menunjukkan bahwa lesi apa pun di korteks prefrontal ventromedial otak dapat mempengaruhi kekuatan pengambilan keputusan seseorang. Pola ini juga terlihat pada beberapa hewan.

Gangguan perjudian cenderung diturunkan dalam keluarga, yang menunjukkan adanya hubungan genetik. Studi pada kembar identik juga menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin berkontribusi lebih besar terhadap risiko terjadinya gangguan perjudian dibandingkan faktor lingkungan, seperti pengalaman masa kecil yang buruk.

Menurut American Psychiatric Association, seseorang dengan gangguan perjudian perlu berjudi dengan jumlah yang semakin meningkat untuk mencapai kepuasan yang sama seperti sebelumnya. Orang tersebut akan merasa gelisah atau mudah tersinggung ketika mencoba untuk mengurangi atau berhenti berjudi—hal yang mirip dengan orang yang mengalami ketergantungan narkotika. Tanda-tanda lain dari gangguan ini termasuk pemikiran yang berlebihan tentang perjudian, kembali berjudi bahkan setelah kehilangan uang, dan upaya berulang kali dan tidak berhasil untuk berhenti berjudi.

Orang dengan gangguan perjudian akan memilih berjudi ketika mencoba melarikan diri dari tekanan, masalah, atau stres. Bahkan, setelah kehilangan uang karena berjudi, mereka masih sering mengulanginya untuk “balas dendam”. Dalam hubungan sosial, mereka yang kecanduan perjudian akan terus berbohong untuk menyembunyikan sejauh mana keterlibatan dalam perjudian hingga kehilangan kesempatan penting, seperti pekerjaan, prestasi sekolah, atau hubungan dekat dengan orang lain. Bahkan, mereka tidak bisa memecahkan masalah, tetapi mengandalkan orang lain untuk membantu mengatasi masalah keuangan yang disebabkan oleh perjudian.

Masalah perjudian diakui sebagai kelainan yang lebih berbasis kognitif dibandingkan ketergantungan atau penyalahgunaan zat. Griffiths, dalam artikelnya yang tercantum dalam Jurnal Studi Perjudian pada 1995, menyimpulkan bahwa penjudi berlebihan secara khas menunjukkan distorsi kognitif dalam sistem kepercayaan mereka tentang kemampuan untuk menang dalam perjudian, kebutuhan mereka akan kegembiraan, dan keyakinan menyimpang yang menghubungkan bahwa mereka tidak akan dapat berfungsi tanpa kegembiraan yang mereka peroleh dari perjudian.

Distorsi kognitif menciptakan ilusi bahwa mereka memenangi permainan. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan antara mekanisme pengambilan keputusan kognitif dan emosional di otak. Kontrol ilusi adalah distorsi lain di antara para penjudi dan ini adalah salah satu alasan utama kegagalan mereka. Distorsi semacam ini untuk meyakinkan para penjudi bahwa mereka dapat menggunakan keterampilan mereka untuk memenangi permainan yang sebenarnya sebagian besar ditentukan oleh peluang. Hal ini dapat dipicu lebih lanjut dengan memberikan pilihan dan membuat orang berpikir bahwa mereka memiliki kendali atas permainan.

Hingga saat ini belum ada obat untuk mengobati gangguan ini, tetapi menggunakan konselor dan berbagai jenis terapi dapat membantu. Seperti yang disebutkan oleh Jazaeri dan Habil dalam hasil risetnya yang dipublikasikan di Indian Journal of Psychological Medicine pada 2012 bahwa terapi perilaku kognitif  (CBT) dapat dilakukan pada penjudi yang kecanduan. Terapi ini berfokus pada perubahan perilaku dan pemikiran perjudian yang tidak sehat, seperti rasionalisasi dan keyakinan yang salah. Ia juga mengajarkan cara melawan dorongan berjudi, mengatasi emosi yang tidak nyaman daripada melarikan diri melalui perjudian, dan menyelesaikan masalah keuangan, pekerjaan, dan hubungan akibat kecanduan judi. Tujuan pengobatan semacam ini adalah untuk “memperbaiki” otak yang kecanduan dengan memikirkan perjudian dengan cara yang baru.

15 Juli 2023

Anda Mengidap Inferiority Complex?

Merasa tidak cukup atau tidak yakin dengan diri sendiri sering dialami oleh banyak orang. Perasaan ini normal dan bisa menjadi motivasi yang kuat untuk memperbaiki diri.

Namun, bila rasa tidak cukup dan rendah diri berlangsung terus-menerus, justru bisa menghambat diri untuk berkembang lebih jauh. Kondisi ini disebut juga inferiority complex.

Inferiority complex adalah istilah psikologis untuk menggambarkan karakter seseorang yang rendah diri secara terus-menerus dan selalu merasa tidak mampu. Perasaan ini bisa muncul karena orang tersebut yakin bahwa dirinya lebih buruk, baik secara fisik maupun mental, dari orang lain.


Penyebab Inferiority Complex

Inferiority complex biasanya disebabkan oleh pengalaman negatif masa kecil, misalnya sering dihina karena kurang cerdas dibandingkan teman sebaya atau penerapan pola asuh yang membuat seorang anak merasa dirinya lemah dan tidak berdaya.

Selain itu, ada pula beberapa faktor yang dapat mendorong munculnya perasaan rendah diri yang mendalam, yaitu:

  •  Kecacatan atau kekurangan fisik
  •  Belum mendapatkan pekerjaan
  •  Kesulitan menemukan pasangan

Tidak hanya pada hal nyata, inferiority complex juga bisa muncul dari kekurangan diri sendiri yang sebenarnya hanya ada di pikiran.

Ciri-Ciri Inferiority Complex

Menunjukkan sikap rendah diri

Sebelumnya telah disebutkan bahwa normal untuk sesekali merasa rendah diri karena tidak lebih kompeten dari orang lain dalam beberapa hal, misalnya pencapaian pekerjaan atau prestasi di sekolah.

Pada situasi ini, sebagian orang bisa tetap menghadapinya dengan cara positif dan mengingat bahwa dirinya memiliki kelebihan lain.

Namun, sikap rendah diri pada inferiority complex terjadi berlarut-larut hingga mempengaruhi kehidupan penderitanya. Orang dengan karakter ini cenderung terus-menerus meratapi kekurangannya dan membuatnya tidak fokus untuk mengembangkan diri.

Merasa bertanggung jawab atas kekurangan orang lain

Inferiority complex juga ditandai dengan munculnya rasa tanggung jawab atas kekurangan atau kegagalan orang lain. Orang dengan karakter ini cenderung menunjukkan sikap rasa bersalah atas apa yang bukan dilakukannya.

Menghindari lingkungan sosial

Orang dengan inferiority complex biasanya merespons perasaan rendah diri dengan menghindar dari lingkungan sosial dan menutup diri. Misalnya, menolak menghadiri undangan acara karena enggan berinteraksi dengan orang yang menurutnya lebih baik dari dirinya.

Penting untuk diingat bahwa perasaan ini tidak muncul hanya dalam semalam, tetapi secara konsisten dan sulit dikendalikan.

Menolak turut serta dalam acara perlombaan

Selain menutup diri dari lingkungan sosial, orang yang memiliki karakter inferiority complex juga biasanya menolak untuk berpartisipasi dalam suatu acara perlombaan. Hal ini dipicu oleh rasa takut bila kemampuannya dibandingkan dengan orang lain.

Pada akhirnya, orang dengan inferiority complex tidak ingin mencoba berbagai hal baru dalam hidupnya dan mungkin kehilangan banyak kesempatan besar yang bisa membuat dirinya berkembang.

Membuat orang lain merasa insecure

Meski tidak semua, beberapa orang yang memiliki karakter inferiority complex akan mencoba membuat orang di sekitarnya merasa insecure seperti dirinya. Sikap ini muncul karena ia merasa iri dengan kemampuan orang lain. Karena rasa irinya tersebut, orang dengan inferiority complex bahkan juga bisa menghina orang lain.

Cara Mengatasi Inferiority Complex

Setelah mengenal ciri-ciri inferiority complex, dapat disimpulkan bahwa karakter ini membuat seseorang “tidak sehat” secara mental, menghambat kemampuan diri, dan justru bisa dijauhi dari lingkungan sosial. Pada akhirnya, sikap inferiority complex bisa mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan.

Jika Anda menyadari ada tanda-tanda inferiority complex dalam diri Anda, cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan mencari bantuan ke psikolog. Dengan bantuan profesional, nantinya Anda dibantu menggali lebih dalam apa sebenarnya yang menjadi penyebab munculnya inferiority complex.

Selanjutnya, psikolog akan memberikan beberapa perawatan, misalnya terapi perilaku kognitif. Melalui terapi ini, pikiran negatif tentang diri sendiri bisa perlahan-lahan diubah ke arah yang positif. Selain itu, Anda juga bisa diberi panduan yang tepat untuk mengatasi hal-hal yang tidak menyenangkan tentang diri sendiri.

Anda juga bisa melakukan beberapa cara berikut ini agar bisa lebih menghargai diri sendiri:

  • Berusaha mengakui setiap kemajuan atau pencapaian yang pernah diraih sebelumnya agar bisa mendalami bakat yang mungkin selama ini terpendam
  • Menulis perasaan yang sebenarnya tentang diri sendiri dalam sebuah jurnal
  • Membiasakan berbicara pada diri sendiri dengan afirmasi positif, misalnya “aku berharga, berbakat, dan layak untuk dicintai”, sebagai pemicu untuk lebih berpikir positif terhadap diri sendiri

Inferiority complex penting untuk ditangani dengan tepat, karena sebagian penderitanya bisa tersiksa dengan perasaan rendah diri yang terus muncul dan justru mengalihkannya dengan hal-hal negatif, misalnya minum minuman beralkohol secara berlebihan atau bahkan menggunakan obat-obatan terlarang.

Hidup dengan rasa rendah diri terus-menerus juga bisa menyebabkan gangguan tidur, frustrasi, dan bahkan depresi. Bukan tidak mungkin pikiran ingin bunuh diri juga terlintas di pikiran. Jika Anda telah mengalami gejala ini, jangan ragu berkonsultasi ke psikolog atau psikiater.

9 Juli 2023

Apa Itu Superiority Complex?

Bangga terhadap diri sendiri atas suatu pencapaian memang patut dilakukan. Percaya diri karena memiliki bakat tertentu juga hal yang baik. Namun, orang dengan karakter superiority complex justru sebaliknya. Orang tersebut justru merasa bangga pada dirinya secara berlebihan di saat dia tidak memiliki pencapaian apa pun.

Superiority complex adalah perilaku seseorang yang sangat percaya bahwa dirinya lebih unggul dari orang di sekitarnya. Tidak jarang, orang dengan perilaku ini bersikap sombong hingga merendahkan orang lain. Padahal, hal yang dibanggakannya tidak sesuai dengan kenyataan.

Superiority complex pertama kali dijelaskan oleh seorang psikolog bernama Alfred Adler. Menurutnya, perilaku superiority complex sebenarnya hanyalah mekanisme pertahanan seseorang untuk menyembunyikan rasa rendah diri. Boleh dibilang orang dengan superiority complex sering bersikap sombong pada orang di sekitarnya dan menganggap orang lain tidak berharga hanya untuk menutupi kekurangan atau kegagalannya.

Ciri-ciri Superiority Complex

Menilai Harga Dirinya Paling Tinggi 

Orang dengan superiority complex benar-benar menilai dirinya lebih tinggi, lebih berharga, atau lebih sukses, dibandingkan orang lain di sekitarnya. Sikapnya ini tanpa disadari merupakan hasil dari perasaan rendah diri yang mendalam, bukan karena kesuksesan yang nyata.

Melebih-lebihkan Kemampuan yang Dimiliki

Selalu menceritakan kemampuannya secara berlebihan dan terus-menerus juga menjadi tanda orang dengan superiority complex. Contohnya, ia akan bicara bohong tentang keahlian tertentu dan membandingkan dirinya dengan orang lain agar terlihat lebih berprestasi daripada rekan-rekannya.

Bersikap Sombong dan Merendahkan Orang Lain

Orang dengan karakter superiority complex pada dasarnya memiliki opini berlebihan tentang dirinya sendiri, sehingga ia yakin bahwa kemampuannya melampaui orang lain. Karena pemikirannya tersebut, orang yang memiliki superiority complex tidak segan untuk bersikap sombong, bahkan merendahkan orang lain. Tanpa disadari sikapnya ini sebenarnya menjadi cara ia untuk menutupi kekurangan atau ketidakmampuannya.

Enggan Mendengarkan Pendapat Orang Lain

Pada perilaku superiority complex, seseorang juga cenderung tidak ingin mendengar pendapat atau kontribusi orang lain. Ia juga tidak peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Hal yang penting baginya adalah fakta bahwa ia lebih unggul dari orang di sekitarnya.

Mengabaikan Orang Lain yang Memiliki Kemampuan Lebih Baik

Orang dengan superiority complex juga biasanya mengabaikan, merendahkan, bahkan tidak ragu melakukan bullying ke orang lain yang memiliki kemampuan lebih baik dari dirinya. Ia juga cenderung memberikan reaksi berlebihan pada situasi ketika ia merasa insecure dengan kemampuannya dan hanya ingin terlibat dalam situasi yang ia merasa unggul.

Penyebab dan Cara Mengatasi Superiority Complex

Saat ini, memang tidak ada diagnosis kesehatan mental yang resmi untuk kasus superiority complex. Penyebabnya pun belum bisa dipastikan.

Namun, superiority complex diduga muncul akibat dari banyak kegagalan yang dilalui oleh seseorang. Orang tersebut berusaha mencapai sesuatu yang diinginkan, tetapi tidak kunjung berhasil. Ia justru mengatasi tekanan dari kegagalan tersebut dengan menyombongkan diri dan berpura-pura lebih baik dari orang lain.

Perilaku ini bisa dimulai sejak usia dini. Misalnya, saat seorang anak menghadapi tantangan di sekolah, lalu ia menutupi rasa tidak mampunya dengan melebih-lebihkan kekuatannya. Di sinilah superiority complex bisa berkembang hingga dewasa.

Jika Anda atau orang terdekat memiliki sikap yang mirip dengan superiority complex, sebaiknya jangan dulu menghakiminya secara sepihak. Lebih baik, cobalah perbaiki sikap secara perlahan dengan beberapa cara berikut ini:

  • Jujurlah dengan diri sendiri tentang kemampuan dan pencapaian yang ada, kemudian berlatih untuk mengomunikasikannya dengan orang lain tanpa melebih-lebihkan hal tersebut.
  • Belajar menerima ketidaksempurnaan diri sendiri. Pahami bahwa memiliki kekurangan atau kegagalan bukan berarti mengurangi nilai Anda sebagai manusia.
  • Jangan membandingkan kesuksesan orang lain dengan diri sendiri. Jika orang lain mampu atau sukses dalam suatu hal, cobalah untuk mengakuinya tanpa merasa buruk tentang diri sendiri.
  • Pahamilah bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Daripada fokus dengan kekurangan diri sendiri, lebih baik coba gali lebih dalam kelebihan yang dimiliki.
  • Sadarilah bahwa perkataan dan perlakuan Anda yang merendahkan orang lain bisa menimbulkan sakit hati, bahkan dendam yang tak berujung.

Sikap terlalu percaya diri dan sombong pada superiority complex bisa membuat orang lain menjauh. Akibatnya, orang dengan karakter ini sulit bersosialisasi atau menjalani hubungan asmara. Bahkan, perilaku superiority complex juga mempersulit seseorang untuk mengenali dirinya sendiri.

Perlu diketahui orang dengan superiority complex biasanya mengalami kondisi kesehatan mental lain, seperti gangguan kecemasan atau depresi. Oleh karena itu, bila Anda merasa memiliki karakter superiority complex, tidak ada salahnya mencari bantuan ke psikolog.

Arsip Blog