rubianto.id

Tampilkan postingan dengan label kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesehatan. Tampilkan semua postingan

29 Juni 2024

JUDI adalah Gangguan Kesehatan yang Mempengaruhi Otak

Menurut hasil penelitian industri IBISWorld, ukuran pasar industri kasino dan perjudian daring global mencapai US$ 292,1 miliar pada 2023, meningkat 15 persen dari tahun sebelumnya. Pesatnya perkembangan perjudian online berkontribusi terhadap pendapatan kotor perjudian di negara-negara penyelenggaranya dan diperkirakan tumbuh lebih cepat dibandingkan kasino konvensional.

Banyak orang menganggap judi sebagai bentuk hiburan yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Sayangnya, saat Anda menormalisasi perjudian, maka aktivitas ini akan menjadi kecanduan dan gangguan. Seseorang yang kecanduan judi harus berulang kali berjudi untuk mencapai kepuasan melalui pelepasan dopamin.

Diperkirakan sekitar 0,2-5,3 persen orang dewasa di seluruh dunia menderita gangguan perjudian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengakui kecanduan judi sebagai sebuah gangguan. Di beberapa negara, perjudian diakui sebagai kegiatan yang legal dan menyenangkan dan jutaan orang terlibat di dalamnya. Perjudian di era modern ini sebagian besar telah dilakukan secara dalam jaringan (daring), termasuk berbagai kegiatan olahraga dan non-olahraga yang dipertaruhkan.

Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental dari American Psychiatric Association (DSM-5) menganggap gangguan perjudian sebagai kecanduan perilaku. Dalam beberapa hal, gangguan perjudian mirip dengan gangguan penggunaan narkotika. Keduanya mengubah susunan kimiawi otak dan dapat memiliki ciri-ciri penarikan diri dan toleransi.

Para ahli di American Psychiatric Association bersepakat bahwa tidak ada penyebab tunggal dari gangguan perjudian atau kecanduan lainnya. Perubahan struktur kimiawi otak, genetika serta ciri-ciri kepribadian dan kondisi kesehatan mental dapat berkontribusi terhadap perkembangan gangguan perjudian. Orang dengan penyakit mental yang menyertai atau gangguan penggunaan narkotika memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perjudian yang berlebihan.

Proses kecanduan terhadap sesuatu terjadi ketika seseorang berulang kali melatih otaknya untuk mendapatkan kepuasan dari suatu tindakan. Individu tersebut juga dapat menerima imbalan dari tindakan tersebut. Dalam kasus perjudian, seseorang dapat melipatgandakan uang yang dipertaruhkan.

Perjudian mempengaruhi pusat imbalan di otak Anda. Manusia secara biologis termotivasi untuk mencari imbalan yang biasanya datang dari perilaku sehat. Saat Anda menghabiskan waktu bersama orang tersayang atau menyantap makanan lezat, tubuh Anda melepaskan dopamin, yang membuat Anda merasakan kenikmatan. Ini menjadi sebuah siklus: Anda mencari pengalaman ini karena ia memberi Anda perasaan yang baik.

Perjudian juga mengirimkan lonjakan besar dopamin di otak. Namun, alih-alih memotivasi Anda untuk melakukan hal-hal produktif, tingkat dopamin yang sangat besar justru berdampak buruk pada pikiran, perasaan, dan perilaku Anda. Hal ini mendorong Anda untuk mencari lebih banyak kesenangan dari perjudian dan mengurangi aktivitas yang lebih sehat. Seiring waktu, perjudian mengubah susunan kimiawi otak dan Anda menjadi tidak peka terhadap dampaknya. Anda kemudian perlu bertaruh lebih banyak untuk menghasilkan efek yang sama.

Pelepasan dopamin adalah hadiah yang diterima para penjudi untuk terus bermain. Hal ini juga terjadi pada norepinefrin (noradrenalin). Sebuah studi oleh Jazaeri & Habil yang diterbitkan dalam Indian Journal of Psychological Medicine pada 2012 dan Institut Pemulihan Kecanduan Illinois menemukan bahwa penjudi patologis memiliki tingkat norepinefrin yang lebih rendah daripada penjudi normal. Dengan demikian, penjudi patologis menggunakan perjudian sebagai cara untuk meningkatkan sekresi norepinefrin.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ada kesamaan biologis antara perjudian dan penggunaan narkotika. Mengingat perjudian adalah perilaku yang berorientasi pada imbalan, maka perjudian dapat diterapkan pada kelinci percobaan di laboratorium. Dalam sebuah percobaan yang dilakukan pada tikus, tikus belajar untuk menghindari pilihan tertentu untuk memaksimalkan keuntungan pelet gula, yang dirancang mirip dengan perjudian. Temuan penelitian lain menunjukkan bahwa lesi apa pun di korteks prefrontal ventromedial otak dapat mempengaruhi kekuatan pengambilan keputusan seseorang. Pola ini juga terlihat pada beberapa hewan.

Gangguan perjudian cenderung diturunkan dalam keluarga, yang menunjukkan adanya hubungan genetik. Studi pada kembar identik juga menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin berkontribusi lebih besar terhadap risiko terjadinya gangguan perjudian dibandingkan faktor lingkungan, seperti pengalaman masa kecil yang buruk.

Menurut American Psychiatric Association, seseorang dengan gangguan perjudian perlu berjudi dengan jumlah yang semakin meningkat untuk mencapai kepuasan yang sama seperti sebelumnya. Orang tersebut akan merasa gelisah atau mudah tersinggung ketika mencoba untuk mengurangi atau berhenti berjudi—hal yang mirip dengan orang yang mengalami ketergantungan narkotika. Tanda-tanda lain dari gangguan ini termasuk pemikiran yang berlebihan tentang perjudian, kembali berjudi bahkan setelah kehilangan uang, dan upaya berulang kali dan tidak berhasil untuk berhenti berjudi.

Orang dengan gangguan perjudian akan memilih berjudi ketika mencoba melarikan diri dari tekanan, masalah, atau stres. Bahkan, setelah kehilangan uang karena berjudi, mereka masih sering mengulanginya untuk “balas dendam”. Dalam hubungan sosial, mereka yang kecanduan perjudian akan terus berbohong untuk menyembunyikan sejauh mana keterlibatan dalam perjudian hingga kehilangan kesempatan penting, seperti pekerjaan, prestasi sekolah, atau hubungan dekat dengan orang lain. Bahkan, mereka tidak bisa memecahkan masalah, tetapi mengandalkan orang lain untuk membantu mengatasi masalah keuangan yang disebabkan oleh perjudian.

Masalah perjudian diakui sebagai kelainan yang lebih berbasis kognitif dibandingkan ketergantungan atau penyalahgunaan zat. Griffiths, dalam artikelnya yang tercantum dalam Jurnal Studi Perjudian pada 1995, menyimpulkan bahwa penjudi berlebihan secara khas menunjukkan distorsi kognitif dalam sistem kepercayaan mereka tentang kemampuan untuk menang dalam perjudian, kebutuhan mereka akan kegembiraan, dan keyakinan menyimpang yang menghubungkan bahwa mereka tidak akan dapat berfungsi tanpa kegembiraan yang mereka peroleh dari perjudian.

Distorsi kognitif menciptakan ilusi bahwa mereka memenangi permainan. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan antara mekanisme pengambilan keputusan kognitif dan emosional di otak. Kontrol ilusi adalah distorsi lain di antara para penjudi dan ini adalah salah satu alasan utama kegagalan mereka. Distorsi semacam ini untuk meyakinkan para penjudi bahwa mereka dapat menggunakan keterampilan mereka untuk memenangi permainan yang sebenarnya sebagian besar ditentukan oleh peluang. Hal ini dapat dipicu lebih lanjut dengan memberikan pilihan dan membuat orang berpikir bahwa mereka memiliki kendali atas permainan.

Hingga saat ini belum ada obat untuk mengobati gangguan ini, tetapi menggunakan konselor dan berbagai jenis terapi dapat membantu. Seperti yang disebutkan oleh Jazaeri dan Habil dalam hasil risetnya yang dipublikasikan di Indian Journal of Psychological Medicine pada 2012 bahwa terapi perilaku kognitif  (CBT) dapat dilakukan pada penjudi yang kecanduan. Terapi ini berfokus pada perubahan perilaku dan pemikiran perjudian yang tidak sehat, seperti rasionalisasi dan keyakinan yang salah. Ia juga mengajarkan cara melawan dorongan berjudi, mengatasi emosi yang tidak nyaman daripada melarikan diri melalui perjudian, dan menyelesaikan masalah keuangan, pekerjaan, dan hubungan akibat kecanduan judi. Tujuan pengobatan semacam ini adalah untuk “memperbaiki” otak yang kecanduan dengan memikirkan perjudian dengan cara yang baru.

12 Juni 2024

Istilah Medis Detoksifikasi Vaksin COVID-19

Narasi yang mengklaim adanya cara untuk mendetoksifikasi vaksin COVID-19 yang telah masuk ke dalam tubuh beredar di media sosial, baru-baru ini. Klaim ini muncul dalam sebuah unggahan video di media sosial menyusul kekhawatiran terhadap efek samping vaksin COVID-19.

Unggahan video tersebut menampilkan ulasan tentang efek samping vaksin COVID-19 dari berbagai merek. Isi video juga menyebutkan tentang keberadaan tim detoksifikasi vaksin dan imunisasi yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Menurut Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, Sp.A(K), M.Med.Ed., PhD. menegaskan, tidak ada istilah medis ‘detoksifikasi vaksin COVID-19’ atau detoksifikasi pada jenis vaksin lainnya.

Vaksin yang disuntikkan bertujuan membentuk kekebalan tubuh atau menghasilkan antibodi. Sementara itu, detoksifikasi mengacu pada upaya membersihkan, menetralkan, atau mengeluarkan zat racun atau toksin dari dalam tubuh.

Vaksin yang diberikan adalah antigen (mikroorganisme). Artinya, komponen virus yang diinaktivasi atau dilemahkan. Jadi, yang akan terbentuk adalah antibodi. Kalau detoksifikasi ini soal toksin/racun.

Klaim lain yang beredar menyebutkan bahwa mandi dengan soda kue, garam Epsom atau garam Inggris, dan boraks dapat mendetoksifikasi vaksin. Selain itu, cuci darah yang dilakukan berulang kali juga diklaim sebagai cara untuk mendetoksifikasi vaksin.

Menurut Prof. Hinky, soda kue untuk menetralisir asam, sedangkan (bahan pembersih) boraks dapat bersifat karsinogenik yang dapat menimbulkan kanker. Jadi, bukannya menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah kesehatan.

Sedangkan cuci darah itu menetralisir toksin-toksin, sedangkan vaksin disuntikkan akan membentuk antibodi, bukan toksin. Maka, cuci darah bukan buat mengeluarkan antibodi, melainkan mengeluarkan zat racun. Kalau sifatnya bukan racun, tidak akan keluar, karena bermanfaat bagi tubuh.

Ciptakan Kekebalan Tubuh

Vaksin bekerja dengan cara membangun sistem kekebalan tubuh secara khusus untuk melawan penyakit tertentu. Sistem imun di dalam tubuh memiliki peran penting untuk melindungi tubuh dari serangan virus atau bakteri.

Namun, sistem imun perlu mengenali terlebih dahulu jenis-jenis virus atau bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Ketika virus atau bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh pada kemudian hari, tubuh sudah siap untuk melawannya dan mencegah timbulnya penyakit.

Menurut Prof. Hinky, dengan terbentuknya antibodi, kalau ada virus masuk, benda asing masuk, bakteri masuk, dia akan menetralisir.

Prof. Hinky juga menampik klaim keliru yang beredar di media sosial, yaitu anak yang tidak divaksinasi bebas dari infeksi telinga dan pengobatan antibiotik. Menurutnya, klaim tersebut tidak benar.

Vaksin influenza merupakan salah satu jenis vaksin yang bermanfaat bagi anak, dapat mengurangi risiko komplikasi flu, seperti infeksi telinga, serta mencegah keparahan penyakit yang sudah ada.

Kuman penyebab infeksi telinga streptococcus pneumoniae dan haemophilus influenzae, kalau (anak) divaksinasi, angkanya (risiko kejadian infeksi) berkurang. Jangan sekadar berasumsi atau mendengar tanpa ada basis data yang benar.

Cara Kerja Vaksin

Sebagaimana manfaat vaksin dari lainnya, Vaksin COVID-19 memberikan perlindungan terhadap tertular atau sakit parah akibat COVID-19. Cara kerjanya dengan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membangun pertahanan khusus melalui pemberian vaksin.

Upaya optimal untuk terhindar dari COVID-19 adalah dengan melengkapi vaksinasi COVID-19 sesuai jadwal yang dianjurkan dan menerapkan perilaku sehat. Perilaku sehat tersebut meliputi penggunaan masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer, serta menjaga jarak aman.

Merujuk informasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaksin mengurangi risiko tertular penyakit dengan memanfaatkan pertahanan alami tubuh untuk membangun perlindungan. Setelah seseorang menerima vaksin, sistem kekebalan akan merespons.

Cara sistem kekebalan tubuh merespons, yakni mengenali kuman penyerang seperti virus atau bakteri; memproduksi antibodi, yaitu protein yang diproduksi secara alami oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit; dan mengingat penyakit dan cara melawannya.

Jika tubuh terpapar kuman di kemudian hari, sistem kekebalan tubuh dapat dengan cepat menghancurkan kuman tersebut sebelum Anda sakit. Oleh karena itu, vaksin merupakan cara yang aman dan efektif untuk memicu respons imun dalam tubuh tanpa menyebabkan penyakit.

Sistem kekebalan tubuh dirancang untuk memiliki memori. Setelah menerima satu atau lebih dosis vaksin, tubuh biasanya tetap terlindungi dari penyakit selama bertahun-tahun, puluhan tahun, bahkan seumur hidup.

Inilah yang membuat vaksin sangat efektif. sebagai alat pencegahan penyakit. Vaksin mencegah seseorang agar tidak sakit, alih-alih mengobati penyakit setelah penyakit itu muncul.

Referensi : sehatnegeriku.kemkes.go.id

18 Mei 2024

Manfaat Charcoal untuk Kesehatan

Activated charcoal atau yang juga dikenal dengan arang aktif berbeda dengan arang pada umumnya. Activated charcoal adalah charcoal yang telah diolah dan dipanaskan dengan oksigen pada suhu yang sangat tinggi, hingga menjadi bubuk berwarna hitam yang tidak berbau dan tidak memiliki rasa.

Bahan ini sudah sejak lama dikenal memiliki manfaat dalam menangani berbagai masalah kesehatan, seperti keracunan. Selain itu, masih banyak manfaat charcoal yang sayang jika Anda dilewatkan.

Mengatasi Keracunan dan Overdosis Obat-obatan

Sejak dulu, charcoal sudah banyak digunakan sebagai salah satu bahan penawar racun. Selain itu, charcoal juga digunakan sebagai langkah penanganan pertama pada kondisi overdosis obat-obatan. Bahan aktif charcoal mampu mengikat berbagai jenis obat dan racun sehingga mencegah racun tersebut diserap oleh tubuh.

Mengatasi Diare

Sebuah penelitian menyebutkan manfaat charcoal dalam membantu mengatasi diare. Bahan aktif pada charcoal diketahui mampu memerangkap bakteri penyebab diare di usus dan mencegahnya menyebarkan racun. Hal ini dapat meredakan gejala diare. Namun, masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk memastikan manfaat charcoal yang satu ini.

Mengatasi Perut Kembung

Charcoal juga sering dimanfaatkan sebagai pengobatan alternatif untuk mengatasi perut kembung. Charcoal mampu mengikat gas berlebih yang terdapat di dalam saluran pencernaan.

Manfaat charcoal untuk mengatasi perut kembung ini akan lebih efektif Anda rasakan jika dikombinasikan dengan penggunaan simethicone serta pembatasan minuman dan makanan yang mengandung gas tinggi.

Menurunkan Kadar Kolesterol

Manfaat charcoal lainnya adalah menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol jahat (LDL) dengan cara mengikat kolesterol di dalam usus. Dengan demikian, kolesterol dari makanan yang terserap oleh tubuh menjadi lebih sedikit dan kadar kolesterol darah tetap terjaga.

Menjaga Fungsi Ginjal

Manfaat charcoal lainnya adalah membantu menjaga dan meningkatkan fungsi ginjal, terlebih pada penderita gagal ginjal kronis. Charcoal bekerja dengan cara membantu ginjal menyaring racun dalam darah, sehingga kerja ginjal menjadi lebih ringan.

Mempercepat Penyembuhan Luka

Charcoal juga diyakini dapat membantu mempercepat penyembuhan luka. Bubuk charcoal yang diletakkan di atas luka terbuka dan dibalut dengan kasa dapat membantu membersihkan nanah dan racun, sehingga membantu luka sembuh dengan lebih cepat.

Menjadi Masker Wajah

Charcoal juga bisa dimanfaatkan sebagai masker wajah untuk menjaga kesehatan kulit. Bahan aktif pada charcoal dipercaya mampu menyerap bakteri dan kotoran dari kulit wajah. Dengan demikian, kulit wajah Anda akan terlihat lebih sehat, bersih, dan bebas dari jerawat.

---

Untuk mendapatkan beragam manfaat charcoal di atas, Anda bisa mencoba beragam produk charcoal yang dikemas dalam bentuk tablet, pil, maupun masker wajah.

Namun, Anda dianjurkan untuk tidak menggunakan charcoal secara sembarangan. Charcoal yang dikonsumsi secara berlebihan bisa menyebabkan berbagai efek samping, seperti perubahan cara tubuh menyerap makanan dan obat-obatan.

Sebelum Anda menggunakan charcoal untuk meraih berbagai manfaatnya, ada baiknya Anda berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter untuk mendapatkan saran yang tepat dalam menggunakan zat aktif ini.

7 April 2024

Diet Nabati untuk Tubuh dan Bumi

Tak hanya bermanfaat untuk tubuh, dengan menerapkan pola makan nabati (plant-based diet) Anda juga dapat membantu menjaga keberlangsungan kehidupan di bumi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Eropa semakin banyak orang yang beralih ke pola makan nabati karena alasan kesehatan dan pertimbangan etis tentang perubahan iklim dan keberlangsungan ekologi.

Pola makan nabati berfokus pada makanan yang utamanya berasal dari tumbuhan. Pola makan ini tidak hanya mencakup mengonsumsi buah-buahan dan sayuran, tetapi juga kacang-kacangan, biji-bijian, minyak nabati, dan polong-polongan. Namun, bukan berarti Anda menjadi vegetarian saja—yang juga mengonsumsi beberapa produk olahan susu selain tumbuhan—atau bahkan vegan, yang tidak pernah mengonsumsi produk hewani seperti daging atau produk susu. Sebaliknya, Anda secara proporsional memilih lebih banyak makanan yang berasal dari sumber nabati.

Menurut Plant-Based Diets and Their Impact on Health, Sustainability and the Environment (2021) terbitan Kantor WHO Eropa untuk Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, terdapat sejumlah manfaat pola makan nabati. Tulisan ini sebagian besar berdasarkan laporan tersebut.

Di beberapa negara, perubahan pola makan ini baru saja muncul, sedangkan di negara lain trend ini meningkat lebih cepat. Namun, menurut WHO, bukti bahwa pola makan nabati itu sehat sudah banyak ditemukan berdasarkan penelitian nutrisi mengenai pola makan nabati seperti diet Mediterania dan diet vegetarian.

Diet Mediterania, menurut WHO, memiliki pola dasar makanan yang dominan yang bersumber dari nabati tetapi juga mencakup ikan, unggas, telur, keju, dan yogurt yang dikonsumsi beberapa kali seminggu. Tentunya, konsumsi daging dan makanan manis lebih jarang. Dalam studi populasi besar dan uji klinis acak diet ini telah terbukti dapat mengurangi risiko penyakit jantung, sindrom metabolik, diabetes, kanker tertentu (khususnya kanker usus besar, payudara, dan prostat), depresi, dan penurunan daya ingat pada orang lanjut usia, serta fungsi mental dan fisik yang lebih baik.

Diet vegetarian, kata WHO, juga telah terbukti mendukung kesehatan, termasuk menurunkan risiko terkena penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, diabetes, dan meningkatkan umur panjang. Selain itu, pola makan nabati bisa mencegah, alzheimer, autoimun, gangguan pencernaan, kanker, hipertensi dan lain-lain.

WHO mencatat bahwa secara keseluruhan, pola makan nabati ini rendah garam, lemak jenuh, dan gula tambahan sehingga direkomendasikan sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Pola makan nabati mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral yang diperlukan untuk kesehatan yang optimal, termasuk tinggi serat dan fitonutrien. Orang dengan pola makan seperti itu memiliki risiko kematian dini rendah dan terlindungi dari penyakit tidak menular. Saran ini melengkapi keseluruhan bukti yang menunjukkan bahwa membatasi konsumsi daging merah (daging sapi, daging babi, dan domba) dan daging olahan (seperti sosis dan daging yang diawetkan, diasap, dan diasinkan) dapat melindungi Anda dari berbagai penyakit tidak menular. Namun, beberapa vegan mungkin perlu menambahkan suplemen, khususnya vitamin B12, untuk memastikan bahwa mereka menerima semua asupan nutrisi yang dibutuhkan.

Orang yang menerapkan pola makan nabati juga cenderung lebih bisa menjaga berat badan dengan stabil. Tentu saja, hal ini menjadi salah satu cara efektif untuk Anda yang ingin menurunkan berat badan, dan alasan inilah yang memicu kenaikan popularitas pola makan nabati.

Dalam pengolahan makanan yang bersumber dari hewani dibutuhkan proses olahan yang menghasilkan emisi karbon tinggi dan sangat membutuhkan air dan lahan yang jauh lebih besar untuk beternak hewan-hewan yang menjadi sumber makanan. Penelitian Veronique De Sy dkk., yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters pada 2015, menunjukkan bahwa padang rumput merupakan penyebab utama luasnya hutan (71,2 persen) dan hilangnya karbon (71,6 persen) di Amerika Selatan, diikuti oleh lahan pertanian komersial yang masing-masing 14 dan 12,1 persen. Pola makan nabati tentunya memiliki potensi untuk mengurangi dampak lingkungan yang terkait dengan tingginya konsumsi makanan hewani seperti daging dan produk susu.

Dalam catatan WHO, konsumsi daging yang berlebihan membebani sistem layanan kesehatan. Misalnya, diperkirakan pada tahun 2020 terdapat 2,4 juta kematian di seluruh dunia dan biaya layanan kesehatan sekitar 240 juta euro yang disebabkan oleh konsumsi daging merah dan daging olahan yang berlebihan.

Menurut WHO, pergeseran ke pola makan nabati juga dapat membantu mencegah hilangnya keanekaragaman hayati. Pola diet ini dapat secara signifikan mengurangi penggunaan lahan pertanian dan penggembalaan. Dia juga turut menjaga populasi hewan, yang banyak digunakan sebagai sumber makanan, dan menurunkan jumlah peternakan.

Bagi Anda yang baru mengenal pola makan ini atau mereka yang saat ini lebih sering mengonsumsi produk hewani mungkin bisa mulai berfokus pada transisi bertahap menuju pola makan nabati. Anda dapat mengurangi mengonsumsi produk hewani secara bertahap sesuai dengan ajaran agama dan budaya yang Anda anut. Anda juga perlu memiliki rencana pola makan nabati yang sehat dan terencana dengan baik agar dapat memberikan tingkat mikronutrien yang memadai. American Heart Association Academy of Nutrition and Dietetics saat ini mengakui bahwa pola makan nabati yang terencana dengan baik adalah pilihan sehat dan aman untuk kebanyakan orang dewasa.

Menurut WHO, banyaknya manfaat pola makan nabati bagi kesehatan ini diprediksi akan menjadi tren diet yang tumbuh pesat hingga tercetus konsep One Health. Namun, hal ini memang perlu mendapat perhatian khusus dari para dokter dan ahli gizi agar penerapan pola makan nabati yang sehat benar-benar dapat memaksimalkan dampak One Health, yang menguntungkan bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

Sumber: sehatnegeriku.kemkes.go.id

26 Maret 2024

Imunisasi Kejar untuk Lengkapi Imunisasi Rutin Anak

Lebih dari 1,8 juta anak Indonesia tidak mendapat Imunisasi Rutin Lengkap selama 6 tahun terakhir, dari 2018 sampai 2023. Akibatnya, beragam kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) terjadi di beberapa daerah sepanjang 2023.

Pada tahun 2023 banyak kasus dan KLB PD3I, yaitu campak rubella sebanyak 136 kasus, KLB difteri 103 kasus, kasus polio 8 kasus, kasus tetanus 14 kasus, dan pertusis atau batuk 100 hari sebanyak 149 kasus.

Keadaan seperti ini tentu membuat khawatir mengingat ada agenda imunisasi global seperti Eradikasi Polio dan eliminasi Campak Rubella pada 2026. Dengan banyaknya KLB tentu agenda global tersebut tidak akan tercapai.

Masih banyak anak yang belum diimunisasi karena beberapa alasan. Menurut temuan UNICEF dan AC Nielsen pada kuartal kedua tahun 2023, sekitar 38 persen orang tua enggan melakukan imunisasi karena takut terhadap imunisasi ganda atau lebih dari satu suntikan.

Sementara itu, sekitar 12 persen mengaku khawatir terhadap efek samping vaksin. Kekhawatiran ini didukung oleh 40 persen dari total responden yang menolak memberikan imunisasi pada anak mereka.

Imunisasi ganda sudah terjadi di banyak negara dan ini cukup aman. Sebenarnya mereka ini tidak maunya bukan karena sudah punya pengalaman sendiri, tetapi karena dengar dari orang lain.

Untuk mengurangi angka anak yang belum mendapatkan imunisasi, penguatan strategi imunisasi rutin sangatlah penting. Salah satu pendekatan tersebut adalah memperkuat sisi suplai, termasuk kesiapan vaksin dan logistik, kesiapan wilayah, imunisasi kejar, imunisasi tambahan masal (ORI), kualitas tenaga kesehatan serta pencatatan dan pelaporan.

Selain itu, penguatan juga perlu dilakukan dari sisi permintaan dengan aktif melakukan sosialisasi dan edukasi, pemberdayaan masyarakat dan pelibatan lintas sektor.

Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Hartono Gunardi menekankan perlunya imunisasi kejar untuk melengkapi imunisasi yang tertunda pada anak-anak.

Ia menambahkan, dalam pelaksanaanya, imunisasi kejar bisa dilakukan dalam dua cara, yakni memberikan imunisasi tanpa harus diulang dari awal atau melakukan program suntikan ganda yang telah terbukti aman dan efektif.

Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satari menegaskan, Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam melakukan program imunisasi pada anak. Indonesia telah memberikan 450 juta suntikan imunisasi terhadap 5 juta anak yang lahir setiap tahunnya.

Indonesia telah melakukan imunisasi, bukan lagi ribuan atau puluhan ribu, tapi jutaan, tingkat pelaporan efeknya masih rendah dibanding negara lain. Artinya, imunisasi itu aman.

Dia menambahkan, keamanan ini tidak hanya terjadi pada suntikan tunggal, tetapi juga suntikan ganda. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan angka kejadian KIPI atau reaksi samping pasca-imunisasi yang signifikan.

KIPI memang ada, ada yang serius ada juga yang ringan tapi jumlahnya sangat rendah.

12 Maret 2024

Nobel Kedokteran untuk Penemu mRNA Pembuat Vaksin

Katalin Karikó dan Drew Weissman adalah dua tokoh yang tahun ini mendapatkan Hadiah Nobel bidang kedokteran. Penelitian mereka tentang asam ribonukleat pembawa pesan (mRNA), yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan vaksin COVID-19 sehingga miliaran orang dapat memperoleh perlindungan dari virus SARS CoV-2 ketika terjadi pandemi COVID-19 pada 2020 lalu, menjadi latar belakang pemberian penghargaan bergengsi internasional ini.

Hadiah Nobel kedokteran tahun 2023 diberikan secara bersama-sama kepada Katalin Karikó dan Drew Weissman, “Atas penemuan mereka mengenai modifikasi basa nukleotida yang memungkinkan pengembangan vaksin mRNA yang efektif melawan COVID-19,” kata Yayasan Nobel pada 2 Oktober lalu.

Yayasan Nobel menjelaskan, mRNA adalah molekul asam ribonukleat (RNA) beruntai tunggal, di mana RNA merupakan sejenis asam nukleat dan membawa informasi genetik untuk sel. RNA disebut mirip dengan asam deoksiribonukleat (DNA) tetapi ada beberapa perbedaan struktural. RNA menggunakan gula ribosa sebagai pengganti deoksiribosa dan ada sebagai untai tunggal dalam sel meskipun kadang-kadang menjadi untai ganda. Sebaliknya, DNA selalu beruntai ganda. DNA adalah struktur yang lebih permanen di dalam sel dan dapat ditemukan di inti eukariota. Sebaliknya, RNA lebih mudah dibuat dan dihancurkan dan dapat ditemukan di sitoplasma dan nukleus.

Menurut Yayasan Nobel, hasil temuan Karikó dan Weissman secara mendasar telah mengubah pemahaman orang di penjuru dunia tentang bagaimana mRNA berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh manusia. Dengan temuan pemanfaatan mRNA untuk pembuatan vaksin COVID-19, maka kedua orang tersebut telah berkontribusi terhadap tingkat pengembangan vaksin yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mampu berperan mengatasi salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia di zaman modern.

“Memproduksi vaksin berbasis virus, protein, dan vektor secara keseluruhan memerlukan kultur sel skala besar. Proses yang membutuhkan banyak sumber daya ini membatasi kemungkinan produksi vaksin secara cepat sebagai respons terhadap wabah dan pandemi. Oleh karena itu, para peneliti telah lama berupaya mengembangkan teknologi vaksin yang tidak bergantung pada kultur sel,” kata Yayasan Nobel.

Proses penemuan mRNA sebagai metode pembuatan vaksin COVID-19 tidak langsung tiba-tiba ketika pandemi COVID-19 merebak pada 2020. Ada proses panjang yang harus dilalui oleh kedua peneliti tersebut untuk kemudian membuka mata dunia bahwa membuat vaksin tidak mesti selalu bergantung pada virus yang dimatikan.

Yayasan Nobel mencatat, pada tahun 1980-an metode efisien untuk memproduksi mRNA tanpa kultur sel diperkenalkan, yang disebut transkripsi in vitro sehingga meningkatkan pengembangan aplikasi biologi molekuler di beberapa bidang. Gagasan untuk menggunakan teknologi mRNA untuk tujuan vaksin dan terapeutik juga mulai muncul, tapi terdapat hambatan di depan. MRNA yang ditranskripsi secara in vitro dianggap tidak stabil dan sulit untuk dihasilkan sehingga memerlukan pengembangan sistem lipid pembawa yang canggih untuk merangkum mRNA. Selain itu, mRNA yang diproduksi secara in vitro menimbulkan reaksi inflamasi. Oleh karena itu, antusiasme untuk mengembangkan teknologi mRNA untuk tujuan klinis pada awalnya terbatas.

Meskipun demikian, ahli biokimia Hungaria, Katalin Karikó, tetap bersemangat untuk mengembangkan metode penggunaan mRNA untuk terapi. Pada awal tahun 1990-an, ketika menjadi asisten profesor di University of Pennsylvania, dia tetap setia pada visinya untuk mewujudkan mRNA sebagai terapi meskipun menghadapi kesulitan dalam meyakinkan penyandang dana penelitian tentang pentingnya proyek tersebut. Rekan baru Karikó di universitasnya adalah ahli imunologi Drew Weissman. Weissman tertarik pada sel dendritik, yang memiliki fungsi penting dalam pengawasan kekebalan dan aktivasi respons imun yang dipicu oleh vaksin. Didorong oleh ide-ide baru, kolaborasi yang bermanfaat di antara keduanya segera dimulai dengan berfokus pada bagaimana berbagai jenis RNA berinteraksi dengan sistem kekebalan.

Karikó dan Weissman memperhatikan bahwa sel dendritik mengenali mRNA yang ditranskripsi in vitro sebagai zat asing, yang mengarah pada aktivasi dan pelepasan molekul pemberi sinyal inflamasi. Mereka bertanya-tanya mengapa mRNA yang ditranskripsi secara in vitro dikenali sebagai benda asing sedangkan mRNA dari sel mamalia tidak menimbulkan reaksi yang sama. Mereka kemudian menyadari bahwa beberapa sifat penting harus membedakan berbagai jenis mRNA.

Mereka bertanya-tanya apakah tidak adanya perubahan basa pada RNA yang ditranskripsi secara in vitro dapat menjelaskan reaksi inflamasi yang tidak diinginkan. Untuk menyelidiki hal ini, mereka menghasilkan varian mRNA yang berbeda, masing-masing dengan perubahan kimia unik pada basanya, yang kemudian mereka kirimkan ke sel dendritik. Hasilnya sangat mengejutkan. Respons inflamasi hampir hilang ketika modifikasi basa dimasukkan ke dalam mRNA.

Menurut Yayasan Nobel, hal ini adalah perubahan paradigma dalam pemahaman tentang bagaimana sel mengenali dan merespons berbagai bentuk mRNA. Karikó dan Weissman segera memahami bahwa penemuan mereka memiliki arti penting dalam penggunaan mRNA sebagai terapi. Hasil penting ini dipublikasikan pada tahun 2005, 15 tahun sebelum pandemi COVID-19.

Dalam penelitian lebih lanjut yang diterbitkan pada tahun 2008 dan 2010, Karikó dan Weismann menunjukkan bahwa pengiriman mRNA yang dihasilkan dengan modifikasi basa meningkatkan produksi protein secara nyata dibandingkan dengan mRNA yang tidak dimodifikasi. Efeknya disebabkan berkurangnya aktivasi enzim yang mengatur produksi protein. Melalui penemuan mereka yang mendasarkan modifikasi pada pengurangan respons inflamasi dan peningkatan produksi protein, Karikó dan Weissman telah menghilangkan hambatan kritis dalam penerapan klinis mRNA.

Pada tahun 2010, beberapa perusahaan berupaya mengembangkan metode ini. Vaksinasi terhadap virus Zika dan MERS-CoV terus dilakukan—yang terakhir ini terkait erat dengan SARS-CoV-2. Setelah merebaknya pandemi COVID-19, dua vaksin mRNA yang dimodifikasi berdasarkan protein permukaan SARS-CoV-2 dikembangkan dengan kecepatan tinggi. Efek perlindungan dilaporkan sekitar 95 persen dan kedua vaksin tersebut disetujui pada awal Desember 2020.

Beberapa vaksin lain untuk melawan SARS-CoV-2, berdasarkan metodologi yang berbeda, juga diperkenalkan dengan cepat dan secara keseluruhan lebih dari 13 miliar dosis vaksin COVID-19 telah diberikan secara global. Vaksin itu telah menyelamatkan jutaan nyawa dan mencegah penyakit parah pada lebih banyak orang, memungkinkan masyarakat untuk membuka diri dan kembali ke kondisi normal. Melalui penemuan mendasar mereka tentang pentingnya modifikasi basa pada mRNA, para peraih Nobel kedokteran tahun ini memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan transformatif ini selama salah satu krisis kesehatan terbesar di zaman kita.

Referensi: sehatnegeriku.kemkes.go.id

26 November 2023

Inovasi Teknologi Nyamuk Wolbachia

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan yang serius di dunia termasuk di Indonesia. Pada tahun 2023, hingga awal November, telah dilaporkan lebih dari 4,5 juta kasus DBD dan lebih dari 4.000 kematian akibat demam berdarah di 80 negara di dunia.

Sedangkan di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tercapat sebanyak 68.996 kasus DBD hingga Oktober 2023, dengan jumlah kematian sebanyak 498 jiwa.

Teknologi Nyamuk Wolbachia untuk Mengatasi DBD

Wolbachia adalah bakteri yang sangat umum dan terdapat secara alami pada 50 persen spesies serangga, termasuk beberapa nyamuk, lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Wolbachia aman bagi manusia dan lingkungan. Analisis risiko menunjukkan bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia menimbulkan risiko yang dapat diabaikan terhadap manusia dan lingkungan.

Wolbachia hidup di dalam sel serangga dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur serangga. Nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak membawa Wolbachia, namun banyak nyamuk lainnya yang membawa Wolbachia.

Metode penanggulangan Demam Berdarah Dengue melalui program Wolbachia ini diinisiasi oleh organisasi World Mosquito Program (WMP) yang telah digunakan di 14 negara sejak tahun 2011, termasuk di Indonesia.

Ketika nyamuk Aedes aegypti membawa Wolbachia, bakteri tersebut bersaing dengan virus seperti virus demam berdarah Dengue, virus Zika, virus Chikungunya, dan virus demam kuning. Hal ini mempersulit virus untuk berkembang biak di dalam tubuh nyamuk. Sehingga kecil kemungkinan nyamuk menyebarkan virus dari orang ke orang.

Artinya, ketika nyamuk Aedes aegypti membawa bakteri Wolbachia alami, penularan virus seperti demam berdarah, Zika, chikungunya, dan demam kuning akan berkurang. Wolbachia yang ada di dalam tubuh nyamuk dapat menghambat replikasi virus Dengue atau virus lainnya. Pada nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor utama dari virus Dengue menyebabkan nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia ini tidak dapat menularkan virus Dengue antar manusia melalui gigitannya.

Tujuan utama proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD), demam kuning, dan chikungunya, karena keberadaan bakteri Wolbachia dalam nyamuk mampu menghambat replikasi virus Dengue virus Zika dan virus Chikungunya.

Teknologi nyamuk Wolbachia dilakukan dengan cara meletakkan telur nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia di lingkungan tempat tinggal masyarakat, dimana banyak berkembang populasi nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor utama penularan penyakit DBD. Telur nyamuk yang terdapat bakteri Wolbachia akan menetas menjadi nyamuk dewasa dan berkembang biak.

Jika nyamuk Aedes aegypti jantan yang memiliki bakteri Wolbachia kawin dengan Aedes aegypti betina lokal tanpa Wolbachia maka virus pada nyamuk betina akan terhambat replikasinya atau mati.

Disamping itu jika yang memiliki Wolbachia itu nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan liar yang tidak memiliki bakteria Wolbachia maka seluruh telurnya akan mengandung Wolbachia. Sehingga dalam beberapa siklus tertentu diharapkan tidak ada lagi berkembang virus Dengue dalam nyamuk Aedes aegypti karena adanya bakteri Wolbachia. Fenomena ini sangat menguntungkan mengingat bahwa hanya nyamuk betina saja yang menggigit dan menghisap darah manusia, sedangkan nyamuk yang jantan tidak.

Dengan demikian pengembangan nyamuk yang membawa bakteri Wolbachia ini bukanlah merupakan hasil rekayasi genetika dan bukan juga merupakan nyamuk transgenik, karena materi genetik nyamuk tidak diubah.

Pemanfaatan teknologi Wolbachia telah dilaksanakan di beberapa negara antara lain di Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, Singapura, dan Sri Lanka, dimana hasilnya terbukti efektif untuk pencegahan DBD.

Di Indonesia program nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini pertama kali diteliti dan dikembangkan di Yogyakarta, bekerjasama dengan para peneliti dari UGM. Hasilnya, metode Wolbachia ini terbukti berhasil menurunkan 77% kasus DBD dan menurunkan risiko rawat inap di rumah sakit sebesar 86%.

Kemenkes juga telah mengevaluasi hasil penyebaran nyamuk di Yogyakarta dan menyatakan bahwa cukup bukti untuk memperluas manfaat teknologi nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia guna melindungi jutaan orang di Indonesia dari DBD.

Menurut Kemenkes teknologi nyamuk pembawa Wolbachia melengkapi strategi pengendalian dan sudah masuk ke Stranas (Strategi Nasional). Melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/1341/2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue dengan Metode Wolbachia diimplementasikan di 5 kota lainnya yaitu Kota Semarang, Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Kupang dan Kota Bontang. Sebelumnya uji coba penyebaran nyamuk ber-Wolbachia telah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar nyamuk ber-Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86%.

Hasil uji coba efektifitas penyebaran nyamuk yang terinfeksi Wolbachia untuk pengendalian demam berdarah telah dipublikasikan pada jurnal internasional yaitu The New England Journal of Medicine. Dengan melansir laman https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa2030243#article disebutkan bahwa introgresi bakteri Wolbachia ke dalam populasi nyamuk Aedes aegypti efektif dalam mengurangi kejadian gejala demam berdarah dan mengakibatkan lebih sedikit rawat inap karena demam berdarah di antara para penderita.

Namun demikian, penggunaan nyamuk dengan Wolbachia ini, bukan berarti menggantikan seluruh upaya pencegahan DBD yang ada. Langkah-langkah sebelumnya masih tetap perlu dijalankan, seperti 3M (menguras, menutup, dan mengubur), fogging sesuai indikasi, dan Gerakan Satu Rumah Satu Juru Jumantik.

Secara ilmiah keberhasilan metode ini sudah jelas. Namun kontroversi yang muncul adalah karena kesimpang siuran informasi yang beredar di medsos, sehingga menimbulkan kehawatiran di masyarakat.

Adapun tentang kontroversi lainnya, antara lain yang menyebutkan bahwa teknologi nyamuk pembawa Wolbachia adalah hasil rekayasa genetika, atau mengandung gen LGBT, atau program depopulasi atau upaya untuk mengurangi populasi penduduk di negara tertentu, atau program untuk melacak seseorang dengan menanamkan microchip pada orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti pembawa bakteri Wolbachia, ataupun penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia dari udara melalui pesawat terbang, dan info disinformasi lainnya, merupakan info yang tidak tepat, mengingat bahwa program nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini bukan berdasarkan suatu teknologi yang berbasiskan rekayasa genetika, atau teknologi trangenik. Karena tujuan utama dari proyek ini adalah untuk menurunkan penyebaran nyamuk Aedes aegypti pembawa virus Dengue. Sedangkan nyamuknya pun tetap alami, karena materi genetik nyamuk tidak diubah.

Penerapan teknologi Wolbachia telah menjadi bagian dari strategi nasional pengendalian DBD di Indonesia. Meskipun teknologi ini terbukti efektif, masyarakat tetap diminta untuk tetap melakukan gerakan 3M Plus, yaitu Menguras, Menutup, dan Mendaur ulang, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

12 November 2023

TEMULAWAK, Tanaman Obat Unggulan Indonesia

Temulawak yang merupakan tanaman asli Indonesia ditetapkan sebagai tanaman obat unggulan. Penetapan ini disampaikan dalam pameran alat kesehatan dan farmasi dalam rangka Hari Kesehatan Nasional ke-59 di JCC Senayan, Jakarta, Kamis (9/11).

Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin yang hadir membuka pameran, mengaku senang atas penetapan tersebut. Wapres menilai penetapan ini merupakan langkah besar Indonesia untuk mendukung terwujudnya kemandirian bahan baku obat di Tanah Air.

Dengan penetapan ini, Wapres meminta agar pengembangan dan pengelolaan temulawak sebagai obat tradisional unggulan Indonesia dijaga mutu dan kualitas, sehingga aman dikonsumsi masyarakat.

Wapres juga meminta produk obat-obatan tradisional Indonesia lainnya yang telah terstandarisasi agar terus dipromosikan dan dikembangkan supaya tidak kalah dengan produk sejenis seperti ginseng dari Korea Selatan.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa penetapan temulawak sebagai tanaman obat tradisional unggulan Indonesia didasarkan pada banyaknya kandungan yang terdapat di tanaman tersebut.

Beberapa kandungannya diantaranya zat besi, vitamin, kalsium, sodium dan asam folat. Selain itu, temulawak juga mengandung banyak zat aktif salah satunya kurkuminoid yang berkhasiat untuk mencegah berbagai penyakit hati seperti fatty liver, sirosis bahkan kanker hati.

Menurut Menkes, penyakit fatty liver itu pengobatannya susah, tapi ada tanaman Indonesia yang bisa mengobati. Karena itu butuh antioksiden yang bernama Kurkumin.

Menkes berharap dengan penetapan ini, kedepan upaya pengembangan dan riset kandungan dalam tanaman temulawak terus dilakukan agar lebih banyak mendapatkan manfaat kesehatan yang didapatkan.

Menkes juga berharap ditengah perkembangan riset temulawak sebagai bahan baku obat, nantinya sektor farmasi dapat membantu mempromosikan produk ini secara aktif, sehingga dapat dikenal secara luas tidak hanya nasional tapi juga global.

Selain menetapkan temulawak sebagai obat tradisional unggulan Indonesia, Kementerian Kesehatan juga bekerjasama untuk meningkatkan konsumsi jamu pada masyarakat. Kerja sama ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu.

5 November 2023

Manfaat dan Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Hepatitis B adalah infeksi pada organ hati atau liver yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Penyakit ini bisa bersifat akut atau berlangsung selama beberapa bulan, tetapi dapat juga berkembang menjadi kronis atau menetap hingga bertahun-tahun.

Jika tidak segera diobati, penyakit hepatitis B bisa menyebabkan komplikasi dan gangguan berat pada organ hati, seperti kanker hati dan sirosis. Penularan virus hepatitis B dapat dicegah melalui pemberian vaksin hepatitis B.

Manfaat Imunisasi Hepatitis B

Pemberian vaksin hepatitis B sangat bermanfaat karena dapat melindungi dari infeksi virus hepatitis B. Oleh karena itu, anak dan orang dewasa perlu mendapatkan vaksin ini sesuai dosis dan jadwal yang disarankan agar perlindungan dari penyakit hepatitis B dapat diperoleh secara optimal.

Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Anak

Berdasarkan rekomendasi jadwal imunisasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), vaksin hepatitis B perlu diberikan sebanyak 4 kali pada bayi dan anak-anak. Jadwal vaksinasi hepatitis B pertama dilakukan saat bayi lahir dan ketiga dosis selanjutnya diberikan ketika bayi berusia 2, 4, dan 6 bulan.

Setelah itu, anak perlu mendapatkan imunisasi hepatitis B ulang (booster) saat ia berusia 18 bulan. Jika bayi sedang sakit berat, pemberian vaksin sebaiknya ditunda dan bayi bisa melakukan imunisasi kejar setelah pulih dari sakitnya.

Dewasa

Orang dewasa yang belum pernah mendapatkan vaksin hepatitis B saat masih anak-anak dianjurkan untuk segera melakukan vaksinasi. Pemberian vaksin ini  pada orang dewasa juga disarankan, terutama bila memiliki kondisi tertentu yang dapat meningkatkan risiko terkena hepatitis B, seperti:

  • Memiliki pasangan yang menderita hepatitis B
  • Menderita penyakit tertentu, seperti penyakit hati, penyakit ginjal kronis, diabetes, dan HIV
  • Memiliki risiko kontak dengan darah, urine, atau kotoran penderita hepatitis B, misalnya para pekerja medis, termasuk dokter, perawat, bidan, dan petugas laboratorium
  • Menggunakan jarum suntik bergantian dengan orang lain
  • Menjalani perilaku seks berisiko dan sering bergaonta-ganti pasangan seksual
  • Melakukan hubungan seks sesama jenis

Untuk orang dewasa, vaksin hepatitis B diberikan sebanyak 3 kali dengan jeda 1 bulan antara dosis pertama dengan dosis kedua. Sementara, dosis ketiga diberikan 5 bulan setelah dosis kedua. Untuk booster, pemberiannya membutuhkan jeda 5 tahun dari pemberian dosis ketiga.

Efek Samping

Vaksinasi hepatitis B dapat mencegah penularan virus hepatitis B dan umumnya aman diberikan. Namun, sebagian orang dapat mengalami reaksi atau efek samping ringan setelah pemberian vaksin, seperti demam, nyeri di lokasi suntikan, dan sakit kepala.

Pada kasus tertentu, pemberian vaksin hepatitis B juga bisa menimbulkan reaksi alergi, seperti gatal-gatal, muncul ruam di kulit, hingga sesak napas. Namun, reaksi seperti ini sangat jarang terjadi pada pemberian vaksin hepatitis B.

29 Oktober 2023

Kemenkes : Temuan 9 Kasus Baru Monkeypox Belum Bisa Dikategorikan KLB

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan cacar monyet atau monkeypox belum dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) meski ditemukan sejumlah kasus baru dalam dua pekan terakhir di DKI Jakarta.

Hingga Selasa (24/10/2023) pukul 10.00 WIB, Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama Kemenkes RI mengonfirmasi adanya penambahan 9 kasus sejak pertama kali dilaporkan pada 13 Oktober 2023. Seluruh kasus terkonfirmasi berdomisili di Ibu Kota DKI Jakarta.

Sekalipun upaya pencegahan sudah dilakukan Kemenkes RI, meliputi surveilans, terapeutik dan vaksinasi. Upaya surveilans dilakukan dengan penyelidikan epidemiologi dan penyiapan laboratorium pemeriksa.

Terapeutik dengan memberikan terapi simtomatis, pemenuhan logistik antivirus khusus Mpox serta pemantauan kondisi pasien.

Sementara, vaksinasi sudah mulai diberikan pada hari Selasa (24/10/2023) yang menyasar kepada 447 orang kelompok berisiko.

Kriteria penerima vaksin Monkeypox adalah laki-laki yang dalam dua minggu terakhir melakukan hubungan seksual berisiko dengan sesama jenis dengan atau tanpa status ODHIV.

Hingga pukul 10.00 WIB Selasa (24/10/2023) Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat sudah ada 11 orang pertama yang menerima vaksin dosis pertama.

kesehatan kuliner lifestyle

Arsip Blog