rubianto.id

Tampilkan postingan dengan label imunisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label imunisasi. Tampilkan semua postingan

26 Maret 2024

Imunisasi Kejar untuk Lengkapi Imunisasi Rutin Anak

Lebih dari 1,8 juta anak Indonesia tidak mendapat Imunisasi Rutin Lengkap selama 6 tahun terakhir, dari 2018 sampai 2023. Akibatnya, beragam kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) terjadi di beberapa daerah sepanjang 2023.

Pada tahun 2023 banyak kasus dan KLB PD3I, yaitu campak rubella sebanyak 136 kasus, KLB difteri 103 kasus, kasus polio 8 kasus, kasus tetanus 14 kasus, dan pertusis atau batuk 100 hari sebanyak 149 kasus.

Keadaan seperti ini tentu membuat khawatir mengingat ada agenda imunisasi global seperti Eradikasi Polio dan eliminasi Campak Rubella pada 2026. Dengan banyaknya KLB tentu agenda global tersebut tidak akan tercapai.

Masih banyak anak yang belum diimunisasi karena beberapa alasan. Menurut temuan UNICEF dan AC Nielsen pada kuartal kedua tahun 2023, sekitar 38 persen orang tua enggan melakukan imunisasi karena takut terhadap imunisasi ganda atau lebih dari satu suntikan.

Sementara itu, sekitar 12 persen mengaku khawatir terhadap efek samping vaksin. Kekhawatiran ini didukung oleh 40 persen dari total responden yang menolak memberikan imunisasi pada anak mereka.

Imunisasi ganda sudah terjadi di banyak negara dan ini cukup aman. Sebenarnya mereka ini tidak maunya bukan karena sudah punya pengalaman sendiri, tetapi karena dengar dari orang lain.

Untuk mengurangi angka anak yang belum mendapatkan imunisasi, penguatan strategi imunisasi rutin sangatlah penting. Salah satu pendekatan tersebut adalah memperkuat sisi suplai, termasuk kesiapan vaksin dan logistik, kesiapan wilayah, imunisasi kejar, imunisasi tambahan masal (ORI), kualitas tenaga kesehatan serta pencatatan dan pelaporan.

Selain itu, penguatan juga perlu dilakukan dari sisi permintaan dengan aktif melakukan sosialisasi dan edukasi, pemberdayaan masyarakat dan pelibatan lintas sektor.

Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof Hartono Gunardi menekankan perlunya imunisasi kejar untuk melengkapi imunisasi yang tertunda pada anak-anak.

Ia menambahkan, dalam pelaksanaanya, imunisasi kejar bisa dilakukan dalam dua cara, yakni memberikan imunisasi tanpa harus diulang dari awal atau melakukan program suntikan ganda yang telah terbukti aman dan efektif.

Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satari menegaskan, Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam melakukan program imunisasi pada anak. Indonesia telah memberikan 450 juta suntikan imunisasi terhadap 5 juta anak yang lahir setiap tahunnya.

Indonesia telah melakukan imunisasi, bukan lagi ribuan atau puluhan ribu, tapi jutaan, tingkat pelaporan efeknya masih rendah dibanding negara lain. Artinya, imunisasi itu aman.

Dia menambahkan, keamanan ini tidak hanya terjadi pada suntikan tunggal, tetapi juga suntikan ganda. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan angka kejadian KIPI atau reaksi samping pasca-imunisasi yang signifikan.

KIPI memang ada, ada yang serius ada juga yang ringan tapi jumlahnya sangat rendah.

12 Maret 2024

Nobel Kedokteran untuk Penemu mRNA Pembuat Vaksin

Katalin Karikó dan Drew Weissman adalah dua tokoh yang tahun ini mendapatkan Hadiah Nobel bidang kedokteran. Penelitian mereka tentang asam ribonukleat pembawa pesan (mRNA), yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan vaksin COVID-19 sehingga miliaran orang dapat memperoleh perlindungan dari virus SARS CoV-2 ketika terjadi pandemi COVID-19 pada 2020 lalu, menjadi latar belakang pemberian penghargaan bergengsi internasional ini.

Hadiah Nobel kedokteran tahun 2023 diberikan secara bersama-sama kepada Katalin Karikó dan Drew Weissman, “Atas penemuan mereka mengenai modifikasi basa nukleotida yang memungkinkan pengembangan vaksin mRNA yang efektif melawan COVID-19,” kata Yayasan Nobel pada 2 Oktober lalu.

Yayasan Nobel menjelaskan, mRNA adalah molekul asam ribonukleat (RNA) beruntai tunggal, di mana RNA merupakan sejenis asam nukleat dan membawa informasi genetik untuk sel. RNA disebut mirip dengan asam deoksiribonukleat (DNA) tetapi ada beberapa perbedaan struktural. RNA menggunakan gula ribosa sebagai pengganti deoksiribosa dan ada sebagai untai tunggal dalam sel meskipun kadang-kadang menjadi untai ganda. Sebaliknya, DNA selalu beruntai ganda. DNA adalah struktur yang lebih permanen di dalam sel dan dapat ditemukan di inti eukariota. Sebaliknya, RNA lebih mudah dibuat dan dihancurkan dan dapat ditemukan di sitoplasma dan nukleus.

Menurut Yayasan Nobel, hasil temuan Karikó dan Weissman secara mendasar telah mengubah pemahaman orang di penjuru dunia tentang bagaimana mRNA berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh manusia. Dengan temuan pemanfaatan mRNA untuk pembuatan vaksin COVID-19, maka kedua orang tersebut telah berkontribusi terhadap tingkat pengembangan vaksin yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mampu berperan mengatasi salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia di zaman modern.

“Memproduksi vaksin berbasis virus, protein, dan vektor secara keseluruhan memerlukan kultur sel skala besar. Proses yang membutuhkan banyak sumber daya ini membatasi kemungkinan produksi vaksin secara cepat sebagai respons terhadap wabah dan pandemi. Oleh karena itu, para peneliti telah lama berupaya mengembangkan teknologi vaksin yang tidak bergantung pada kultur sel,” kata Yayasan Nobel.

Proses penemuan mRNA sebagai metode pembuatan vaksin COVID-19 tidak langsung tiba-tiba ketika pandemi COVID-19 merebak pada 2020. Ada proses panjang yang harus dilalui oleh kedua peneliti tersebut untuk kemudian membuka mata dunia bahwa membuat vaksin tidak mesti selalu bergantung pada virus yang dimatikan.

Yayasan Nobel mencatat, pada tahun 1980-an metode efisien untuk memproduksi mRNA tanpa kultur sel diperkenalkan, yang disebut transkripsi in vitro sehingga meningkatkan pengembangan aplikasi biologi molekuler di beberapa bidang. Gagasan untuk menggunakan teknologi mRNA untuk tujuan vaksin dan terapeutik juga mulai muncul, tapi terdapat hambatan di depan. MRNA yang ditranskripsi secara in vitro dianggap tidak stabil dan sulit untuk dihasilkan sehingga memerlukan pengembangan sistem lipid pembawa yang canggih untuk merangkum mRNA. Selain itu, mRNA yang diproduksi secara in vitro menimbulkan reaksi inflamasi. Oleh karena itu, antusiasme untuk mengembangkan teknologi mRNA untuk tujuan klinis pada awalnya terbatas.

Meskipun demikian, ahli biokimia Hungaria, Katalin Karikó, tetap bersemangat untuk mengembangkan metode penggunaan mRNA untuk terapi. Pada awal tahun 1990-an, ketika menjadi asisten profesor di University of Pennsylvania, dia tetap setia pada visinya untuk mewujudkan mRNA sebagai terapi meskipun menghadapi kesulitan dalam meyakinkan penyandang dana penelitian tentang pentingnya proyek tersebut. Rekan baru Karikó di universitasnya adalah ahli imunologi Drew Weissman. Weissman tertarik pada sel dendritik, yang memiliki fungsi penting dalam pengawasan kekebalan dan aktivasi respons imun yang dipicu oleh vaksin. Didorong oleh ide-ide baru, kolaborasi yang bermanfaat di antara keduanya segera dimulai dengan berfokus pada bagaimana berbagai jenis RNA berinteraksi dengan sistem kekebalan.

Karikó dan Weissman memperhatikan bahwa sel dendritik mengenali mRNA yang ditranskripsi in vitro sebagai zat asing, yang mengarah pada aktivasi dan pelepasan molekul pemberi sinyal inflamasi. Mereka bertanya-tanya mengapa mRNA yang ditranskripsi secara in vitro dikenali sebagai benda asing sedangkan mRNA dari sel mamalia tidak menimbulkan reaksi yang sama. Mereka kemudian menyadari bahwa beberapa sifat penting harus membedakan berbagai jenis mRNA.

Mereka bertanya-tanya apakah tidak adanya perubahan basa pada RNA yang ditranskripsi secara in vitro dapat menjelaskan reaksi inflamasi yang tidak diinginkan. Untuk menyelidiki hal ini, mereka menghasilkan varian mRNA yang berbeda, masing-masing dengan perubahan kimia unik pada basanya, yang kemudian mereka kirimkan ke sel dendritik. Hasilnya sangat mengejutkan. Respons inflamasi hampir hilang ketika modifikasi basa dimasukkan ke dalam mRNA.

Menurut Yayasan Nobel, hal ini adalah perubahan paradigma dalam pemahaman tentang bagaimana sel mengenali dan merespons berbagai bentuk mRNA. Karikó dan Weissman segera memahami bahwa penemuan mereka memiliki arti penting dalam penggunaan mRNA sebagai terapi. Hasil penting ini dipublikasikan pada tahun 2005, 15 tahun sebelum pandemi COVID-19.

Dalam penelitian lebih lanjut yang diterbitkan pada tahun 2008 dan 2010, Karikó dan Weismann menunjukkan bahwa pengiriman mRNA yang dihasilkan dengan modifikasi basa meningkatkan produksi protein secara nyata dibandingkan dengan mRNA yang tidak dimodifikasi. Efeknya disebabkan berkurangnya aktivasi enzim yang mengatur produksi protein. Melalui penemuan mereka yang mendasarkan modifikasi pada pengurangan respons inflamasi dan peningkatan produksi protein, Karikó dan Weissman telah menghilangkan hambatan kritis dalam penerapan klinis mRNA.

Pada tahun 2010, beberapa perusahaan berupaya mengembangkan metode ini. Vaksinasi terhadap virus Zika dan MERS-CoV terus dilakukan—yang terakhir ini terkait erat dengan SARS-CoV-2. Setelah merebaknya pandemi COVID-19, dua vaksin mRNA yang dimodifikasi berdasarkan protein permukaan SARS-CoV-2 dikembangkan dengan kecepatan tinggi. Efek perlindungan dilaporkan sekitar 95 persen dan kedua vaksin tersebut disetujui pada awal Desember 2020.

Beberapa vaksin lain untuk melawan SARS-CoV-2, berdasarkan metodologi yang berbeda, juga diperkenalkan dengan cepat dan secara keseluruhan lebih dari 13 miliar dosis vaksin COVID-19 telah diberikan secara global. Vaksin itu telah menyelamatkan jutaan nyawa dan mencegah penyakit parah pada lebih banyak orang, memungkinkan masyarakat untuk membuka diri dan kembali ke kondisi normal. Melalui penemuan mendasar mereka tentang pentingnya modifikasi basa pada mRNA, para peraih Nobel kedokteran tahun ini memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan transformatif ini selama salah satu krisis kesehatan terbesar di zaman kita.

Referensi: sehatnegeriku.kemkes.go.id

5 November 2023

Manfaat dan Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Hepatitis B adalah infeksi pada organ hati atau liver yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Penyakit ini bisa bersifat akut atau berlangsung selama beberapa bulan, tetapi dapat juga berkembang menjadi kronis atau menetap hingga bertahun-tahun.

Jika tidak segera diobati, penyakit hepatitis B bisa menyebabkan komplikasi dan gangguan berat pada organ hati, seperti kanker hati dan sirosis. Penularan virus hepatitis B dapat dicegah melalui pemberian vaksin hepatitis B.

Manfaat Imunisasi Hepatitis B

Pemberian vaksin hepatitis B sangat bermanfaat karena dapat melindungi dari infeksi virus hepatitis B. Oleh karena itu, anak dan orang dewasa perlu mendapatkan vaksin ini sesuai dosis dan jadwal yang disarankan agar perlindungan dari penyakit hepatitis B dapat diperoleh secara optimal.

Jadwal Pemberian Imunisasi Hepatitis B

Anak

Berdasarkan rekomendasi jadwal imunisasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), vaksin hepatitis B perlu diberikan sebanyak 4 kali pada bayi dan anak-anak. Jadwal vaksinasi hepatitis B pertama dilakukan saat bayi lahir dan ketiga dosis selanjutnya diberikan ketika bayi berusia 2, 4, dan 6 bulan.

Setelah itu, anak perlu mendapatkan imunisasi hepatitis B ulang (booster) saat ia berusia 18 bulan. Jika bayi sedang sakit berat, pemberian vaksin sebaiknya ditunda dan bayi bisa melakukan imunisasi kejar setelah pulih dari sakitnya.

Dewasa

Orang dewasa yang belum pernah mendapatkan vaksin hepatitis B saat masih anak-anak dianjurkan untuk segera melakukan vaksinasi. Pemberian vaksin ini  pada orang dewasa juga disarankan, terutama bila memiliki kondisi tertentu yang dapat meningkatkan risiko terkena hepatitis B, seperti:

  • Memiliki pasangan yang menderita hepatitis B
  • Menderita penyakit tertentu, seperti penyakit hati, penyakit ginjal kronis, diabetes, dan HIV
  • Memiliki risiko kontak dengan darah, urine, atau kotoran penderita hepatitis B, misalnya para pekerja medis, termasuk dokter, perawat, bidan, dan petugas laboratorium
  • Menggunakan jarum suntik bergantian dengan orang lain
  • Menjalani perilaku seks berisiko dan sering bergaonta-ganti pasangan seksual
  • Melakukan hubungan seks sesama jenis

Untuk orang dewasa, vaksin hepatitis B diberikan sebanyak 3 kali dengan jeda 1 bulan antara dosis pertama dengan dosis kedua. Sementara, dosis ketiga diberikan 5 bulan setelah dosis kedua. Untuk booster, pemberiannya membutuhkan jeda 5 tahun dari pemberian dosis ketiga.

Efek Samping

Vaksinasi hepatitis B dapat mencegah penularan virus hepatitis B dan umumnya aman diberikan. Namun, sebagian orang dapat mengalami reaksi atau efek samping ringan setelah pemberian vaksin, seperti demam, nyeri di lokasi suntikan, dan sakit kepala.

Pada kasus tertentu, pemberian vaksin hepatitis B juga bisa menimbulkan reaksi alergi, seperti gatal-gatal, muncul ruam di kulit, hingga sesak napas. Namun, reaksi seperti ini sangat jarang terjadi pada pemberian vaksin hepatitis B.

22 Oktober 2023

Alasan Vaksin Cacar Monyet Hanya Diberikan kepada Kelompok Rentan

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, vaksin cacar monyet atau monkeypox akan diberikan secara gratis kepada masyarakat.

Namun, karena jumlahnya masih terbatas, vaksin ini hanya akan diberikan kepada kelompok populasi kunci yang rentan, khususnya mereka yang menderita HIV.

Nadia menjelaskan, pemberian vaksin kepada kelompok rentan ini merujuk pada keputusan WHO, termasuk dalam hal jumlah vaksin yang dapat dibeli oleh Indonesia.

Selain itu, saat ini vaksin monkeypox juga lebih difokuskan untuk negara-negara di Afrika dengan jumlah kasus yang sangat tinggi. Meskipun begitu, Kemenkes akan berusaha untuk mendapatkan vaksin ini untuk Indonesia.

Nadia menegaskan, meskipun status darurat monkeypox telah dicabut oleh WHO, Kemenkes telah memberikan vaksinasi kepada sejumlah populasi kunci yang berhubungan dengan kasus pertama untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Dia juga meminta masyarakat untuk tidak khawatir terhadap tiga kasus yang baru ditemukan di DKI Jakarta, karena fasilitas kesehatan di Indonesia mampu mengatasinya. Saat ini total kasus positif cacar monyet di DKI ada sebanyak tujuh orang. 

Selain itu, Nadia juga menekankan perbedaan jalur penularan antara monkeypox dan Covid-19. Meskipun keduanya dapat menular dari manusia ke manusia, monkeypox menular melalui hubungan seksual yang berisiko, seperti berganti-ganti pasangan.

1 Oktober 2023

Arti "Kejadian Luar Biasa"

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa pernyakit yang merebak dan dapat berkembang menjadi wabah penyakit. Istilah "KLB" dengan "wabah" sering tertukar dipakai oleh masyarakat, tetapi istilah "wabah" digunakan untuk kondisi yang lebih parah dan luas. Istilah KLB dapat dikatakan sebagai peringatan sebelum terjadinya wabah.

Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:

  • Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal.
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
  • Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

17 September 2023

Penyakit Difteri

Difteri tergolong penyakit menular berbahaya dan berisiko mengancam jiwa. Jika tidak ditangani, bakteri penyebab difteri dapat mengeluarkan racun yang merusak jantung, ginjal, atau otak.

Difteri adalah infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan. Meski tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya ditandai oleh munculnya selaput abu-abu yang melapisi tenggorokan dan amandel.

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang. Seseorang bisa tertular difteri bila tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan penderita saat batuk atau bersin.

Penularan juga bisa terjadi jika menyentuh benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti gelas atau sendok.

Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, risiko terserang difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap. Selain itu, difteri juga lebih berisiko terjadi pada orang yang:

  • Tinggal di area padat penduduk atau buruk kebersihannya
  • Bepergian ke wilayah yang sedang terjadi wabah difteri
  • Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya karena menderita AIDS

Gejala difteri muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi. Meskipun demikian, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala. Apabila muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita.

Selain lapisan abu-abu di tenggorokan, gejala lain yang dapat muncul meliputi:
  • Sakit tenggorokan
  • Suara serak
  • Batuk
  • Pilek
  • Demam
  • Menggigil
  • Lemas
  • Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening
Lakukan pemeriksaan ke dokter jika mengalami gejala penyakit difteri di atas, terutama bila memiliki risiko untuk tertular.

Segera ke IGD rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis jika muncul gejala difteri yang lebih berat, seperti:
  • Gangguan penglihatan
  • Keringat dingin
  • Sesak napas
  • Jantung berdebar
  • Kulit pucat atau membiru
Dokter dapat menduga pasien terkena difteri jika terdapat lapisan abu-abu di tenggorokan atau amandelnya. Namun, untuk memastikannya, dokter akan melakukan pemeriksaan usap atau swab tenggorok.

Pemeriksaan usap tenggorok dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari tenggorokan pasien, untuk kemudian diteliti di laboratorium.

Difteri tergolong penyakit serius dan harus diatasi sesegera mungkin. Menurut data statistik, 1 dari 10 pasien difteri meninggal dunia meski telah mendapat pengobatan.

Beberapa jenis pengobatan yang dilakukan untuk menangani difteri adalah:

Suntik antiracun
Dokter akan memberikan suntik antiracun (antitoksin) difteri guna melawan racun yang dihasilkan oleh bakteri difteri. Sebelum suntik dilakukan, pasien akan menjalani tes alergi kulit untuk memastikan tidak ada alergi terhadap antitoksin.

Antibiotik
Dokter akan memberikan antibiotik, seperti penisilin atau erythromycin, untuk membunuh bakteri difteri dan mengatasi infeksi. Perlu diingat, antibiotik harus dikonsumsi sampai habis sesuai resep dokter, guna memastikan tubuh sudah bebas dari penyakit difteri.

Dua hari setelah pemberian antibiotik, umumnya penderita sudah tidak lagi bisa menularkan penyakit difteri.

Penanganan difteri dilakukan di dalam ruang isolasi di rumah sakit, guna mencegah penularan penyakit ini ke orang lain. Jika diperlukan, dokter juga akan meresepkan antibiotik pada keluarga pasien.

Bagi pasien yang mengalami sesak napas akibat selaput di tenggorokan yang menghalangi aliran udara, dokter akan memasang alat bantu napas.

----

Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang bisa merusak jaringan di hidung dan tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan. Racun tersebut juga bisa menyebar melalui aliran darah dan menyerang berbagai organ.

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
  • Radang otot jantung (miokarditis)
  • Pneumonia atau infeksi paru-paru
  • Gagal ginjal
  • Kerusakan saraf
  • Kelumpuhan
Difteri bisa dicegah melalui imunisasi. Di Indonesia, pemberian vaksin difteri dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus, atau disebut juga dengan imunisasi DPT , DT atau Td.

2 September 2023

Survivor Polio Harus Hidup Pakai Paru-Paru Besi Selama 70 Tahun

Pria di Amerika Serikat jadi manusia terakhir di dunia yang hidup dengan paru-paru besi. Dia harus bertahan dengan paru-paru bantuan itu karena infeksi polio yang diidapnya sejak berusia 6 tahun.

Paul Alexander (77) telah menghabiskan seumur hidupnya di paru-paru besi, mengembangkan cara bernapasnya sendiri yang disebutnya 'pernapasan katak'. Paru-paru besi yang dipakai Paul menyerupai peti mati logam, mengharuskan pasien untuk berbaring di dalam, dengan perangkat diikat erat di leher.

Alat itu bekerja dengan menciptakan ruang hampa untuk secara mekanis menarik oksigen ke paru-paru bagi pasien yang sistem saraf pusat dan fungsi pernapasannya dirusak oleh polio.

Kisah Paul harus hidup dengan paru-paru besi dimulai pada tahun 1952. Dia masih berumur 6 tahun saat terinfeksi penyakit polio. Waktu itu dia tiba-tiba merasa tidak enak badan dan lehernya kaku saat bermain di luar. Kemudian dia mulai mengalami demam. Hari-hari pertama dia hanya berbaring di tempat tidur orang tuanya sambil mewarnai. Lima hari setelahnya, kondisi Paul memburuk, dia bahkan tak bisa lagi memegang krayon, berbicara, menelan bahkan batuk.

Orang tuanya kemudian membawanya ke rumah sakit khusus pasien polio. Namun saat itu rumah sakit tak bisa langsung merawatnya karena fasilitas kesehatan tersebut penuh dengan anak-anak yang sakit karena polio.

Beruntung ada dokter lain yang melihatnya. Segera setelah itu dan melakukan trakeostomi darurat sebelum mengeluarkan cairan yang menumpuk di paru-parunya.

Setelah itu, dia akhirnya menghabiskan hari-harinya di dalam paru-paru besi. Namun hal tersebut tak menghentikannya dalam menggapai mimpinya.

Sedikit demi sedikit, dia mempelajari bagaimana cara bernapas di luar alat tersebut. Beberapa tahun setelahnya, Paul akhirnya bisa bernapas tanpa ventilator walau hanya beberapa saat.

Begitu dia bisa bernapas tanpa bantuan dalam jangka waktu yang lama, dia bisa keluar dari paru-paru besi, pertama-tama berjalan ke teras dan kemudian ke halaman.

Pada usia 21, ia menjadi orang pertama yang lulus dari sekolah menengah di Dallas tanpa pernah menghadiri kelas secara langsung. Dia mengejar mimpinya menjadi pengacara pengadilan, dan mewakili klien di pengadilan dengan mengenakan setelan jas tiga potong dan kursi roda yang dimodifikasi untuk menopang tubuhnya yang lumpuh agar tetap tegak.

Sepanjang hidupnya, dia telah naik pesawat, hidup sendirian, jatuh cinta, berdoa di gereja, sampai berwisata ke pantai. Kini, di usianya yang ke 77 tahun, ia menjadi salah satu orang terakhir di dunia yang masih menggunakan paru-paru besi, dan ia hampir secara eksklusif mengandalkan paru-paru tersebut untuk bernapas.

Paul juga selamat dari wabah mematikan baru, hidup di tengah pandemi COVID-19, meski tergolong sangat rentan terhadap virus tersebut.

Dalam wawancara dengan pembuat film Mitch Summers pada tahun 2020, Paul mengatakan bahwa dia tidak pernah menyerah pada dirinya sendiri, apapun keadaannya.

"Tidak peduli dari mana Anda berasal atau apa masa lalu Anda, atau tantangan yang mungkin Anda hadapi. Anda benar-benar dapat melakukan apa saja. Anda hanya perlu memutuskannya, dan bekerja keras"

5 Agustus 2023

Vaksin HPV Nusagard, Vaksin Produksi Dalam Negeri

Data Globocan menyebutkan, pada 2020 ada 36.633 kasus baru dan 21.003 kematian akibat kanker serviks di Indonesia. Artinya, ada 50 kasus baru yang terdeteksi setiap hari dengan dua kematian setiap jam. Lebih dari 70 persen kasus kanker ditemukan pada stadium lanjut. Sebagian besar infeksi HPV ditemukan pada perempuan.

Jumlah insidensi dan kematian akibat kanker serviks merupakan tertinggi kedua di Indonesia setelah kanker payudara. Kondisi tersebut menjadi ironi sebab kanker serviks bisa dicegah dan dideteksi sejak dini. Terdapat tiga upaya penting yang akan dilakukan, meliputi pencegahan dengan program imunisasi HPV secara nasional untuk anak perempuan usia sekolah dasar kelas 5 dan 6, penapisan kanker serviks untuk perempuan usia 30-50 tahun, serta memastikan perempuan yang teridentifikasi kanker serviks bisa mendapatkan pengobatan yang optimal.

Dalam program imunisasi HPV, kemandirian bangsa untuk memenuhi kebutuhan vaksin dalam negeri kian terwujud. Vaksin human papillomavirus atau HPV Nusagard produksi PT Bio Farma (Persero) secara resmi diluncurkan. Vaksin ini menambah jenis produk bioteknologi farmasi yang berhasil diproduksi di dalam negeri.

Bio Farma memproduksi sebanyak 3,1 juta dosis vaksin HPV Nusagard pada 2023. Jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan program imunisasi nasional, khususnya imunisasi HPV yang tahun ini akan diberikan untuk 2,9 juta anak perempuan usia sekolah dasar kelas 5 dan 6. Vaksin HPV Nusagard ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan vaksin yang dibutuhkan dalam program pemerintah sekaligus untuk mendukung tercapainya eliminasi kanker serviks pada 2030.

Vaksin HPV Nusagard merupakan vaksin HPV kuadrivalen yang dapat digunakan untuk mencegah infeksi HPV tipe 6, 11, 16, dan 18 yang berisiko tinggi menyebabkan kanker serviks. Vaksin ini dikembangkan atas kerja sama antara PT Bio Farma dan Merck Sharp and Dohme (MSD) melalui transfer teknologi dari vaksin gardasil yang diproduksi oleh MSD.

Untuk sementara, vaksin HPV Nusagard hanya diproduksi untuk keperluan program nasional. Dalam program nasional, vaksinasi HPV dengan vaksin Nusagard diberikan dalam dua dosis dengan jarak pemberian antar dosis selama enam bulan. Dosis pertama akan diberikan pada anak perempuan usia sekolah dasar kelas 5 dan dosis kedua pada usia sekolah dasar kelas 6.

Vaksin HPV Nusagard menambah jenis produk vaksin yang dihasilkan oleh PT Bio Farma dalam mendukung program imunisasi nasional. Dari 14 jenis vaksin yang diberikan dalam program imunisasi nasional, sebanyak 13 jenis vaksin di antaranya diproduksi oleh PT Bio Farma, termasuk vaksin HPV.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito menuturkan, vaksin HPV Nusagard telah mendapatkan izin edar dari BPOM. Vaksin ini telah terbukti memiliki efikasi 95-100 persen untuk mencegah kanker serviks akibat infeksi virus HPV. Selain itu, vaksin ini juga dapat digunakan untuk mencegah lesi genital eksternal yang disebabkan oleh infeksi HPV pada laki-laki. Durasi proteksi dari vaksin ini juga cukup panjang, yakni lebih dari 12 tahun.

Informasi Vaksin Rotavirus

Vaksin rotavirus adalah vaksin untuk mencegah infeksi rotavirus yang bisa menyebabkan muntaber atau gastroenteritis. Vaksin Rotavirus berisi rotavirus hidup yang sudah dilemahkan.

Vaksin Rotavirus bekerja dengan cara memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi yang dapat melawan rotavirus ketika sewaktu-waktu virus ini menyerang.

Ada dua jenis vaksin Rotavirus di Indonesia, yaitu vaksin Rotavirus monovalen dan pentavalen. Vaksin Rotavirus pentavalen berisi lima jenis (strain) rotavirus, sedangkan vaksin Rotavirus monovalen hanya berisi satu jenis rotavirus.

Cara Pemberian Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus akan diberikan langsung oleh dokter atau petugas medis di bawah pengawasan dokter di tempat layanan vaksinasi. Sebelum pemberian vaksin, dokter atau petugas medis akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan anak dalam kondisi sehat dan siap untuk divaksin.

Jika anak demam saat pemeriksaan, vaksinasi dapat ditunda hingga kondisi membaik. Sementara bila anak hanya mengalami penyakit ringan, seperti pilek, vaksinasi tetap dapat dilakukan.

Vaksin Rotavirus diberikan dengan cara diteteskan secara perlahan ke dalam mulut anak. Hal ini untuk mencegah vaksin dimuntahkan kembali. Untuk mengurangi resiko vaksin dimuntahkan kembali, pemberian vaksin sebaiknya dilakukan sebelum bayi menyusu.

Rotavirus bisa ditemukan pada tinja anak yang baru saja menjalani vaksinasi Rotavirus. Guna mencegah penularan virus melalui tinja anak, selalu cuci tangan setelah memegang popok anak. Sebisa mungkin hindari anak berdekatan atau menyentuh orang yang sedang sakit, hingga 15 hari setelah menerima vaksin.

Dosis dan Jadwal Pemberian Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus merupakan salah satu vaksin yang termasuk dalam program imunisasi pilihan. Vaksin Rotavirus bisa diberikan kepada bayi sejak usia 6 minggu sampai maksimal usia 6–8 bulan, tergantung jenis vaksin yang diberikan.

Berikut adalah dosis dan jadwal pemberian vaksin Rotavirus yang dibagi berdasarkan jenis vaksinnya:

Vaksin Rotavirus monovalen

Vaksin Rotavirus monovalen diberikan sebanyak 2 kali. Dosis pertama diberikan saat anak berusia 6–14 minggu dan dosis kedua diberikan setidaknya 4 minggu berikutnya. Dosis kedua juga bisa diberikan saat anak berusia 16 minggu atau paling lambat ketika usianya 24 minggu.

Vaksin Rotavirus monovalen diberikan secara oral atau melalui mulut. Dosis yang diberikan dalam sekali pemberian adalah sebanyak 1,5 ml.

Vaksin Rotavirus pentavalen

Vaksin Rotavirus pentavalen diberikan sebanyak 3 kali. Dosis pertama pada saat anak berusia 6–14 minggu. Dosis kedua dan ketiga diberikan dengan jarak 4–8 minggu setelah vaksin sebelumnya. Batas akhir pemberian dosis ketiga adalah ketika usia anak mencapai 32 minggu.

Vaksin Rotavirus pentavalen juga diberikan melalui mulut. Dosis yang diberikan dalam sekali pemberian adalah sebanyak 2 ml.

Pastikan anak mendapatkan seluruh dosis vaksin yang sudah ditentukan. Jika anak melewatkan salah satu dosis, segera ke dokter atau fasilitas kesehatan terdekat untuk menerima dosis yang terlewat.

Peringatan Sebelum Menerima Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus merupakan jenis vaksin yang berasal dari virus hidup yang sudah dilemahkan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum anak Anda menjalani vaksinasi dengan vaksin Rotavirus, yaitu:

  • Beri tahu tenaga kesehatan tentang riwayat alergi yang anak miliki. Vaksin Rotavirus tidak boleh diberikan kepada anak yang alergi terhadap kandungan dalam vaksin ini.
  • Beri tahu tenaga kesehatan jika anak sedang menderita kelemahan sistem imun akibat kemoterapi, radioterapi, penggunaan obat imunosupresan, atau penyakit, seperti severe combined immudeficiency (SCID).
  • Beri tahu tenaga kesehatan jika anak Anda pernah mengalami kondisi intususepsi, spina bifida, atau penyakit bawaan pada kandung kemih, seperti bladder exstrophy.
  • Beri tahu tenaga kesehatan jika anak sedang mengonsumsi obat, suplemen, atau produk herbal apa pun.
  • Segera ke pelayanan kesehatan jika anak mengalami reaksi alergi atau efek samping serius setelah pemberian vaksin Rotavirus.

Interaksi Vaksin Rotavirus dengan Obat Lain

Jika vaksin Rotavirus diberikan bersama obat imunosupresan, termasuk obat kortikosteroid, efektivitas vaksin ini dapat berkurang. Untuk mengantisipasi efek interaksi antarobat, beri tahu dokter mengenai obat, suplemen, atau produk herbal apa pun yang sedang dikonsumsi sebelum menerima vaksin ini.

Efek Samping dan Bahaya Vaksin Rotavirus

Vaksin Rotavirus aman untuk anak dan jarang menimbulkan efek samping. Efek samping wajar yang dapat terjadi setelah pemberian vaksin berupa rewel, gelisah, muntah, dan diare.

Efek samping di atas umumnya bersifat ringan dan bisa sembuh tanpa diobati. Lakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan jika efek samping tersebut tidak kunjung mereda atau semakin memburuk. Anda juga harus segera ke pelayanan kesehatan jika terjadi reaksi alergi setelah penggunaan vaksin rotavirus.

Meski jarang terjadi, pemberian vaksin Rotavirus pada anak dapat berisiko menimbulkan efek samping yang lebih serius, seperti intususepsi. Segera ke pelayanan kesehatan jika bayi mengalami BAB berdarah, muntah-muntah, atau menangis terus-menerus setelah mendapat vaksin MR.

16 Februari 2023

Pedoman Upaya Mempertahankan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal

Melalui upaya pemberian imunisasi pada bayi, anak, WUS, dan promosi serta edukasi pelaksanaan persalinan yang bersih dan aman, maka per Desember 2020 tersisa 12 negara yang belum mencapai target (Afganistan, Angola, Republik Afrika Tengah, Guinea, Mali, Nigeria, Pakistan, Papua New Guinea, Somalia, Sudan, Sudan Selatan, Yaman). Sebagai perbandingan, pada tahun 2018, jumlah kasus bayi baru lahir yang meninggal akibat TN sebanyak 25.000, jumlah ini berkurang 88% dibandingkan dengan tahun 2000. Hal ini tentu menjadi gambaran positif dalam upaya mencapai status eliminasi.


Sejak tahun 1980-an pemberian imunisasi pada WUS menjadi program imunisasi rutin yang merupakan salah satu upaya penting dalam mewujudkan eliminasi TMN. Cakupan imunisasi pada WUS terus mengalami peningkatan, yang menunjukkan tingginya peran serta masyarakat untuk mewujudkan target eliminasi TMN ini.

Ada 4 strategi yang direkomendasikan oleh WHO untuk dapat mempertahankan status eliminasi TMN, yaitu penguatan imunisasi rutin, pemberian imunisasi tetanus tambahan (SIA/Suplementary Immunization Activities) di wilayah-wilayah risiko tinggi dengan menargetkan WUS, mempromosikan persalinan dan perawatan tali pusat yang bersih dan aman, serta penguatan surveilans TN. Setelah status eliminasi tercapai tetap diperlukan upaya untuk mempertahankan status eliminasi tersebut.

Saat ini tantangan yang dihadapi dalam upaya mempertahankan status eliminasi tersebut adalah menurunnya cakupan imunisasi. Selama masa pandemi yang terjadi pada tahun 2020-2021 terjadi penurunan cakupan WUS yang memiliki status imunisasi T2+ yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2021 cakupan WUS yang memiliki status imunisasi T2+ hanya sebesar 47%, dari target minimal 80%. Untuk itu diperlukan penguatan untuk meningkatkan kembali cakupan imunisasi WUS  dan mempertahankan status eliminasi TMN.

Buku ini memuat pedoman upaya mempertahankan eliminasi tetanus maternal dan neonatal dalam pelaksanaan imunisasi tetanus pada WUS yang merupakan acuan bagi setiap petugas kesehatan di berbagai tingkat.

Untuk selengkapnya KLIK DISINI...

Arsip Blog